Touring Jalur Pantai Selatan Jawa Bagian Barat : Ujung Genteng – Pamengpeuk #1-2

Memang tidak mudah mencari teman untuk diajak turing dengan motor khususnya untuk menjelajah rute-rute yang tidak lazim dilalui biker. Tapi orang sering lupa dari perjalanan ke tempat2 tidak lazim inilah tempat-tempat indah penuh potensi wisata ditemukan dan kemudian dipopulerkan.
Mungkin empat atau lima tahun lalu orang tidak banyak tau tentang ujung genteng ataupun sawarna misalnya, karena prasarana jalannya yang masih jelek, medannya yang menguras tenaga ataupun akomodasinya yg terbatas dlsbnya pokoknya lebih banyak tantangannya sehingga orang berpikir dua kali untuk mengunjunginya. Kini setelah banyak orang berkunjung ke sana dan bercerita tentang keindahan atau keunikan tempat tersebut, maka tempat itu sekarang menjadi populer. Saat ini hampir semua komunitas biker mungkin mencita-citakan untuk bisa mengunjungi kedua tempat ini, dengan kata lain kedua tempat ini kini menjadi target tujuan turing.
Demikian juga ketika saya mencari teman untuk diajak turing menuntaskan obsesi saya untuk menyelusuri jalur pantai selatan Jawa Barat ini, cukup sulit untuk mendapatkannya sebagian karena memang sudah ada jadwal sendiri, sebagian lagi karena berpikir dua kali dengan medan yang akan dihadapi.
Untungnya H-2 menjelang keberangkatan seorang teman bersedia ikut – teman ini satu angkatan saat kami kuliah di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara dulu (stan angkatan 82), dan secara kualifikasi dia ini levelnya termasuk suhu secara tahun 1984 dia sudah solo turing Jakarta – Surabaya naik vespa, sekarang ini hobbynya adalah miara motor-motor Honda lawas. Honda CB200, Honda XL, Honda Astrea Prima th89 adalah sejumlah koleksinya.
Bro Arif Septiadi – kita singkat jadi bro Asep demikian nama teman saya tsb dan kali ini dia akan turing dengan Honda astrea prima tahun 1989 nya. Nah kebayangkan saya turing pakai Yamaha Scorpio 225 cc tahun 2005 sementara Bro Asep dgn Astrea Prima 100cc th 1989 so pasti saya yang harus menyesuaikan irama dan kecepatan dalam turing kali ini
Jalur pantai selatan jawa bagian barat yang saya maksud adalah jalan yang membentang mulai dari Muara Binangeun di Banten Selatan sampai Pangandaran di Selatan Ciamis kira-kira jarak totalnya adalah 566km.
Karena jaraknya yang cukup jauh saya tidak menyelesaikannya dalam satu kali perjalanan, tetapi saya penggal dalam empat ruas utama, dan pelaksanaannya pun mengikuti hari libur ataupun cuti yang tersedia.
Apalagi saya selalu menempatkan rute yg belum saya kenal harus dilalui pada siang hari, sehingga lama perjalanan yang dibutuhkan menjadi lebih panjang.
Adapun ke empat ruas utama tersebut adalah sebagai berikut :
1. Muara Binangeun – Bayah – Sawarna – Cisolok – Pelabuhan Ratu = 114km
2. Pelabuhan Ratu – Kiara Dua – Jampang Kulon – Surade – Ujung Genteng = 103 km
3. Ujung Genteng – Surade – Tegal Beleud – Arga Binta – Sindang Barang – Pamengpeuk = 188 km
4. Pamengpeuk – Cipatujah – Cikalong – Cijulang – Pangandaran = 161 km
Dari keempat rute tersebut tinggal yang nomor 3 yang belum saya selesaikan rute yang lainnya sudah saya selesaikan dalam waktu yang berbeda-beda bahkan ada yg sampai lebih dari satu kali saya kunjungi, rute pertama diselesaikan agustus 2007 dan oktober 2009, rute nomor dua Maret 2006, Ferbuari 2008 dan Maret 2008, rute nomor empat Agustus 2009.
Rute no 3 baru kesampaian Desember ini tepatnya tanggal 25,26,27 Desember 2009.
Berikut ini ceritanya.
Jum’at 25 Desember 2009
Etappe I : Jakarta – Bogor – Cikidang – Plb Ratu – Kiara Dua – Surade – Ujung Genteng = 213km
Kami start dari halaman rumah saya di Poltangan jam 07.00 perjalanan lumayan lancar, sampai dengan pertigaan cikidang saya memimpin didepan, namun selanjutnya saya persilahkan suhu Asep memimpin sesuai aturan turing yang lazim motor dengan CC lebih kecil, ataupun yg berboncengan berada di depan…….
Sejak saat itu mat item (Yamaha scorpioku) yang biasanya beringas harus belajar kalem dan santai, menyesuaikan dengan kecepatan motor sang suhu yang di maintain di 50 – 60 kpj. Sebenernya motor sang suhu bisa aja lari sampai 80kpj tapi keliatannya beliau nggak pengen mesin motor kesayangannya rontok hehehe (maklum sdh berumur 20 tahun). Tapi sisi positifnya konsumsi bensin mat item jadi irit 1 lt : 32 km padahal dah pake karbu pe28 biasanya dalem kota Cuma dapet 1 : 26/27.
Sesekali kalo saya pengen merasakan beringasnya mat item…..maka saya jauhkan jarak dengan sang suhu….baru deh digeber mendekat lagi dibelakang motor suhu.
Kondisi jalan Jakarta sampai Pelabuhan Ratu cukup baik, masih bumpy tapi lubang2 sudah berkurang, trek cikidang juga kondisi bagus dan masih menantang untuk dilibas sama yang doyan tikungan2 buat rebahan.
Pukul 09.30 kami sudah tiba di pertigaan Pelabuhan Ratu selanjutnya belok ke kiri mengarah ke jalan raya Sukabumi – Pelabuhan Ratu, Disini sempet berhenti isi perut dulu dan baru lanjut lagi sekitar jam 10.30.
Menjelang masuk kiara dua hujan gerimis mulai turun – tapi karena mendung terlihat tidak merata kami tetep lanjutkan perjalanan tanpa mengenakan jas hujan, sambil kita cari-cari masjid untuk sholat jum’at.
Untunglah ketemu mesjid tepat pukul 11.55 saat hujan semakin deras, jadi sholat jum’at sekalian berteduh. Sholat Jum’at nya rada unik, setelah Adzan jam 12, khotbah disampaikan dalam bahasa Arab singkat dan padat (dan saya gak ngert hehehe) sholat jum’atnya selesai jam 12.15 (cepet banget kan). Terus bilal berdiri dan qamat lagi – imam dan jemaah berdiri dan kemudian sholat 4 rakaat dipimpin imam seperti sholat Dzuhur – unik saya baru tau yg seperti ini……(saya dan bro asep tidak ikut sholat tsb – kita sholat ashar jama taqdim). Sisi baiknya sholat nya cepet sehingga jam 12.30 kita sudah bisa lanjut start lagi hehehe….
Jas hujan terpaksa kami kenakan juga menjelang Jampang Kulon, dikarenakan hujan deras turun dengan lebatnya – saya bersyukur pake sepatu AP boot sehingga kaki dijamin tetep kering…..
Kondisi jalan Kiara Dua – Surade – Ujung Genteng, cukup baik dalam artian sudah banyak lubang yang ditambal sehingga perjalanan bisa berlangsung cukup lancar tanpa harus meliuk-liuk menghindari lubang.
Di Surade sekarang ini sudah ada 3 buah SPBU, padaha sewaktu kunjungan saya terakhir disini (Maret 2008) baru ada satu SPBU dan itupun sedang dibangun/belum dioperasikan. Pesat sekali perkembangan daerah ini.
Jam 14.00 kami sudah tiba di Ujung Genteng yang saat itu suasananya crowded……meriah, banyak sekali pengunjungnya….hiks ujung genteng tidak seperti dulu lagi, dulu saya senang dengan ketenangannya, sunyi, sepi alami – sekarang terlihat lebih komersial banyak pondok/saung didirikan di tepi pantai.
Bahkan ketika saya mengarahkan motor menuju pantai Cibuaya melalui jalanan tanah (sekarang sudah ada jembatan beton lho – dulu masih batang kelapa, atau malah bisa pilih nyeberang sungai; nggak seru lagi ah sekarang), ternyata di Cibuaya pun ramai bukan main secara ada kemah baksos pramuka se kabupaten sukabumi…….waaks ramai banget, nggak nyaman deh.
Setelah muter2 akhirnya dapet tempat nginep disebuah kamar seadanya dipinggir pantai ujung genteng, sorenya setelah unpacking barang-barang mulai deh saya sounding dan cari info mengenai jalur yang besok harus saya lalui, selain tentunya mempelajari peta yang saya bawa.
Satu info berharga saya peroleh dari tukang ojeg yang tadinya nawarin kita untuk lihat penyu di pangumbahan. Dia pernah naik motor dari Ujung Genteng sampai di Cidaun untuk beli perahu disana, menurut dia jalannya sudah baik, kalo kita berangkat pagi-pagi jam 7 sampai disana sekitar tengah hari sekitar jam 13 an
Info yg berharga; setidaknya saya tau rute tsb bisa ditembus dengan motor, butuh waktu 6 – 7 jam untuk sampai cidaun. Kalo masalah jalannya dia bilang sudah baik saya tidak perhitungkan, karena baik menurut ukuran dia mungkin sekali beda dengan baik menurut kita…..
Malam itu ujung genteng mati lampu…….setelah santap malam….sekitar jam 10. an kami pergi tidur mengumpulkan tenaga kembali untuk perjalanan besok……..

Sabtu, 26 Desember 2009
Etappe II : Ujg Genteng – Surade – Tegal Beleud – Agra Binta – Sindang Barang – Pamengpeuk = 188km

Pagi hari sekitar jam 07.00 lebih sedikit diiringi hujan gerimis kami start dari Ujung Genteng untuk melanjutkan etappe II yang merupakan jalur baru atau jalur yang sebagian besar belum saya kenal sama sekali (kecuali mulai Sindang Barang kea rah Pamengpeuk sudah pernah saya lewati).
Untunglah cuaca berpihak pada kami, belum lagi jauh meninggalkan Ujung Genteng, cuaca menjadi cerah, matahari memperlihatkan wajahnya – udara menjadi segar….gabungan antara sisa dinginnya malam dan hangatnya mentari pagi…….Jas Hujan kami lepas dan kami simpan kembali perjalanan dilanjutkan menuju Surade dalam udara yang segar tanpa polusi….
Di Surade kami mengisi bensin full tank, karena tidak tahu apakah dijalan nanti masih ada SPBU lagi, dan ternyata memang benar SPBU baru ada di Pamengpeuk.
Begitu sampai di pertigaan yang ada rambu penunjuk arah Tegal Beleud, Cikaso belok ke kiri, maka kamipun membelok ke kiri mengikuti petunjuk rambu tersebut.
Lebar jalannya sendiri sama seperti lebar jalan Surade – Ujung Genteng, jadi tidak terlalu lebar namun kondisinya lebih jelek 10 km pertama banyak lubang2 walaupun tidak besar dan masih mudah dihindari, barulah setelah memasuki perkebunan Cikaso, jalanan lebih baik berupa hotmix mulus.
Di Cikaso kami melihat ada rombongan orang yang siap-siap hendak berburu, dengan kendaraan jip 4×4 yang diatas atapnya ada kursi tempat sang pemburu membidik buruannya.
Selepas Cikaso suasana jalannya semakin sepi belum tentu lima menit sekali kita papasan dengan kendaraan dari arah berlawanan, demikian juga angkutan umum saya perhatikan tidak ada yang berpapasan.
Pemandangannya sendiri top markotop deh, kami melewati perkebunan karet, hutan jati dan ladang2 penduduk, kontur alamnya berbukit-bukit, di beberapa tempat dimana kami berada dipunggung bukit yang terbuka kami bisa melihat lembah2 dan bukit2 hijau – cantik sekali.
Setelah sarapan disebuah warung sate beberapa kilometer sebelum Tegal Beleud, akhirnya kami sampai di Tegal Beleud sekitar jam 10.00 setelah berjalan sekitar 39km dari Surade, kami langsung lanjut dan sempet bingung karena rambu penunjuk arah menyebut Agra Binta sebagai kota kecamatan berikutnya…..lho padahal dari kedua peta yang jadi pedoman saya tidak mencantumkan Agra Binta sama sekali, yang ada adalah Rawa Uncal, Ciagra.
Daripada nyasar mendingan tanya penduduk saja, dan memang menurut dia untuk ke sindang barang memang lewat Agra Binta, jadi memang arahnya sudah benar.
Ok, lanjut kalo begitu…. Selepas Tegal Beleud ternyata jalanan semakin parah, sekarang jalanan berupa jalanan aspal yang sudah terkelupas yang tersisa adalah batu-batu fondasi jalan….itupun masih ditambah bergelombang permukaannya….hehehe

Orang Yang Tidak Dipedulikan Allah

Assalamualaikum wr.wb

Dalam Hadis Shahih Muslim terdapat tiga hadis mengenai orang yang tidak dipedulikan Allah, namun disini saya sampaikan dua buah saja

hadis no 83

Dari Abu Dzar r.a , dari Nabi SAW, sabdanya “Ada tiga golongan dimana Allah tidak akan bercakap dengan mereka pada hari kiamat. Mereka itu ialah : (1) Orang yang suka memberi, tapi suka menyebut-nyebut pemberiannya. (2) Orang yang menawar-nawarkan dagangannya dengan sumpah palsu. (3) Orang yang suka berpakaian berjela-jela* karena sangat luasnya.”

*) berpakaian sampai menyapu tanah untuk menunjukkan dirinya orang kaya atau bangsawan tinggi.

hadis no 84

Dari Abu Hurairah r.a katanya Rasulullah SAW bersabda : “Ada tiga golongan dimana Allah tidak akan bercakap kepada mereka, tidak membersihkan mereka daripada dosa, –Kata Mua’wiyah juga tidak akan menengok kepada mereka bahkan mereka mendapat siksa yang pedih : (1) Orang tua yang pezina, (2) Raja (penguasa) yang pembohong, (3) Si miskin yang sombong.

Dikutip dari kitab terjemah hadis Shahih Muslim jilid I hadis no 83 dan 84.

Mudah-mudahan Allah membantu upaya dan ikhtiar kita agar tidak termasuk dalam golongan orang yang tidak dipedulikan Allah tersebut diatas.

salam/imam arkan

Solo Touring ke Ujung Genteng #1


Solo Touring Ujung Genteng

tgl 09 – 10 April 2006

Touring Preparation

Setelah rencana touring ke Bandung tanggal 9 – 10 april 2006 bersama-sama teman kantor gagal karena benyak peserta yang batal berangkat, maka untuk memenuhi hasrat touring yang sudah memuncak saya putuskan untuk melakukan solo touring dengan tujuan Ujung Genteng.

Saya sendiri belum pernah ke Ujung Genteng (UG), dan dari info yang saya dengar rute ke UG ini cukup menantang dan menuntut ketangguhan fisik. Sebenernya mendengar hal tersebut membuat saya agak ragu untuk touring sendirian, sebab saya tahu rute ke arah selatan jawa barat umumnya sepi dan melintasi pegunungan/perbukitan (dapat dilihat di peta bahwa selatan jawa adalah daerah pegunungan). Namun sampai hari H – 1, beberapa teman yang saya ajak untuk menemani ternyata berhalangan sehingga otomatis touring kali ini menjadi solo touring lagi dan seperti biasa Arif anak saya menemani kembali sebagai boncenger.

Untuk lebih mendapatkan gambaran daerah yang akan saya lalui saya minta info via email kepada Om Rudin (brother satu ini senang dengan adventure touring – sudah pernah sampai ujung kulon lho), mengenai rute, kondisi jalan dan waktu tempuh ke UG, saya juga kumpulkan data mengenai UG yg ada di internet (mengenai penginapan, objek wisata dlsbnya). Dari semua data ini didapat deskripsi kasar sebagai berikut : jarak tempuh 210 km lama perjalanan 7 – 8 jam, rute terbaik adalah via cibadak – cikidang – pelabuhan ratu – surade – UG, penginapan cukup banyak dengan berbagai tingkat harga, objek paling menarik adalah melihat penyu bertelur.

Karena turing sendirian otomatis persiapan dan perlengkapan harus disiapkan dengan baik. Untuk motor sebelum berangkat saya ganti kampas rem depan maupun belakang dan juga tidak lupa memberi gemuk kaki-kaki belakang Mat Item scorpio ku. Perlengkapan cadangan juga gak kalah komplit, tool kit bawaan pabrik, bohlam, sekering, arm relay versi III, conrod ori, ban dalem cadangan plus kunci ring 19 & 17 (kalau2 perlu buka roda) plus strap/tambang (buat narik kalo motor mogok) menghuni tool bags. Demikian juga P3K; antimo, betadin, hansaplast, tolak angin, visine, autan dan panadol masuk dalam kotak obat pribadi (kalo saya menyebutkan merek bukan berarti promosi ya tapi sekedar memudahkan saja). Semuanya kemudian dijejalkan dalam box Givi bersama-sama 2 buah jas hujan. Sedangkan pakaian saya masukan dalam side bag.

Jakarta – Pelabuhan Ratu

Kelar persiapan, maka pada hari minggu pagi 8 April 2006 jam 07.00 bertempat dari halaman samping rumah – poltangan, pasar minggu, dengan mengucap Bismillah dimulailah solo turing ke ujung genteng ini.

Cuaca pagi itu cerah sekali, sangat menyenangkan untuk memulai perjalanan jarak jauh, keluar dari poltangan motor saya arahkan ke Depok, menyusuri jalan raya lenteng agung. Jalanan pagi itu relatif sepi mungkin kerena sebagian orang yang hari sabtunya libur sudah lebih dulu berangkat ke luar kota untuk liburan. Jalan raya lenteng agung ini sejajar dengan rel KA jakarta – bogor, sehingga sesekali motor saya bisa trek-trekan dengan KRL yang kebetulan melintas menuju bogor…(hehehe iseng banget ya gw); ternyata KRL itu lumayan kenceng lho bisa 70 – 80 kpj.

Jalan Raya Lenteng Agung bertautan dengan jalan Margonda salah satu jalan urat nadi kota Depok yang saban hari makin macet karena pembangunan berbagai Mall disepanjang jalan ini. Di pertemuan antara jalan Margonda dan Jalan baru (saya gak tau ini nama jalannya apa? Hehehe), saya belok kekiri ke Jalan baru yang tembus ke jalan Raya Bogor lama tepatnya di perempatan Gas Alam. Setibanya di perempatan tersebut saya belok kanan menyusuri jalan Raya Bogor lama. Dulu inilah jalan utama satu-satunya yang menghubungkan Bogor dengan Jakarta, sebelum kemudian ada jalan raya Parung-Bogor dan jalan tol Jagorawi.

Sepanjang jalan Raya Bogor Lama ini banyak berdiri pabrik-pabrik yang berpotensi menyebabkan kemacetan khususnya pada saat-saat jam pergantian shift pekerja pabrik, namun dibalik itu adanya pabrik ini juga menyebabkan jalan ini hidup 24 jam dan relatif aman dilalui malam hari. Satu lagi yg sering bikin macet diruas jalan ini adalah adanya pasar tradisional, contohnya pasar cibinong selalu macet tuh. Untunglah pagi itu saat saya melintas situasi lalulintas lancar-lancar saja sehingga saya bisa mengembangkan kecepatan di 70 – 80 kpj.

Jam 08.05 saya sudah melintas didepan terminal bis Baranangsiang – Bogor untuk menuju Tajur dan selanjutnya Ciawi, suasana jalan cukup ramai tapi tidak sampai menimbulkan kemacetan. Kecepatan hanya bisa dipacu sampai 60kpj saja maklum dalam kota dan ramai lagi. Beberapa bikers terlihat sedang berhenti dipinggir jalan menunggu rombongannya komplit tampaknya. Kelihatannya libur dua hari ini tidak disia-sia kan klub2 motor untuk touring.

Tidak sampai setengah jam setelah membelok diputaran ujung jalan tol ciawi saya sudah berada diruas jalan raya yang menuju Sukabumi. Terus terang bagi saya nuansa turing baru dimulai disini, karena sebelumnya hanya nuansa lalulintas padat khas perkotaan yg tiap hari saya hadapi.

Karena sudah memasuki jalanan luar kota segera lampu besar saya nyalakan – walaupun efeknya saya jadi sibuk mengacungkan jempol atau melambai plus senyum berterima kasih kepada setiap orang yang berusaha memberi tahu (dengan isyarat) kalau lampu motor saya hidup. Sebenarnya senang juga sih seperti itu artinya orang2 itu memperhatikan saya hehehe (ge er nih).

Baru jalan lima belas menitan nikmati suasana jalan luar kota menjelang SPN (sekolah polisi negara?) sudah terjadi kemacetan, aduh macet apaan nih??? ternyata ada truk Aqua yang mogok di tanjakan sehingga lalulintas dua arah harus berjalan bergantian, uuh untung gak panjang macetnya…lepas dari situ motor digeber lagi lari 70-80-an kpj wah nyaman banget. Sayang jalannya bergelombang dan kadang2 banyak lubang jadi kudu hati-hati tidak bisa bener-bener santai deh.

Selagi jalan santai seperti itu, entah darimana datangnya saya liat dikaca spion serombongan motor trail muncul dibelakang saya. Tapi salutnya mereka gak maksa mau nyusul saya mungkin karena saya sudah cukup kenceng ya 70 – 80 kpj. Tapi karena saya pengen liat lebih jelas motor2 mereka; tampilannya gagah-gagah euy – saya agak menepi membiarkan mereka lewat mendahului saya. Motornya keren-keren bo, ada KTM asli, TS125, pokoknya bervariasi deh ada yang 4 tak juga, Hyosung kali ya? Semuanya bawa perlengkapan outdoor ada alas tidur yg digulung dan ransel yg diikatkan di jok belakang mereka, mantap man seperti petualang sejati. (tapi saya perhatikan koq semuanya gak ada plat nomornya ya?, spionnya juga gak ada – mungkin biar ringkes plat nomor plus spionnya disimpen di tas ranselnya kali ya? pikir saya simpel hehehe)

Menjelang pasar Cicurug seperti biasa macet, untungnya pake motor jadi bisa nyelip-nyelip ternyata walaupun ada side bag, givi + boncenger, mat item scopiku masih enak diajak meliuk diantara kendaraan. Lepas dari cicurug saya membuntuti rombongan motor trail tadi, numpang gagah-gagahan lah dikit hehehe. Tapi dasar saya riding skillnya kalah sama mereka dan basic saya adalah slow rider maka lama-lama saya makin jauh tertinggal sama rombongan trail tadi.

Setelah ada insiden kecil yang mengingatkan saya untuk tetap berhati-hati (nyaris senggolan dengan Avanza yang menghindari motor jatuh), saya tiba di Parung Kuda, disini saya berbelok kekanan menuju jalan ke arah Parakan Salak dan Taman Nasional Gn Halimun. Seharusnya saya bisa melewati pertigaan Cibadak untuk menuju Cikidang, tapi saya memilih rute alternatif ini karena jalannya lebih sepi dan teduh, jalannya memang lebih sempit tapi suasananya menyenangkan karena segar dan teduh melewati hutan dan perkebunan.

Rute dari Parung Kuda ini nantinya tembus ditengah-tengah ruas jalan antara Cibadak dan Cikidang. Patokan arahnya juga cukup mudah karena di tiap pertigaan ada penunjuk jalan menuju Cikidang- Plb Ratu (selalu ambil yang kiri). Saya tau rute ini sewaktu jalan-jalan ke Taman Nasional Gn Halimun beberapa waktu yang lalu.

Rute Parung Kuda – cikidang ini melintasi perkebunan PTPN VIII (?) Parakan Salak – kebun Cisalak dimana saya lihat tanamannya baru diganti menjadi tanaman kelapa sawit (tadinya kelihatannya bekas kebun karet). Suasana perkebunan sawit ini sepintas mengingatkan saya akan suasana di Sumatera Utara. Di Sumatera utara sana kalo kita melintas di jalan Medan – Pekanbaru atau sedikit keluar dari kota Medan saja maka kita akan melihat hamparan kebun sawit dimana-mana.

Hujan mulai mengguyur ketika akhirnya saya tiba dijalur Cibadak – Cikidang. Hujan ini memaksa saya berhenti untuk mengenakan Jas Hujan. Ketika sedang berhenti mengenakan jas hujan ini melintaslah konvoi mobil Peugeot 505 menuju arah Pelabuhan Ratu. Iring-iringan Peugeot 505 ini panjang juga, rasanya lebih dari 30 mobil dan semuanya tampak terawat dan mulus. Salut juga saya sama pemiliknya karena setahu saya Peugeot 505 ini keluaran antara th 1982 – 1985, jadi sudah hampir berusia 20 tahun.

Perjalanan ke Pelabuhan Ratu saya lanjutkan dalam suasana hujan dan jalanan basah, kendala utama ban standar Scorpio yang terkenal licin benar-benar mengganggu. Beberapakali ban depan sempat sliding di tikungan (padahal kecepatan tidak kencang-kencang amat tuh) untungnya bisa segera dikoreksi sehingga tidak sampai jatuh. Saya putuskan jalan pelan-pelan saja dan tidak berani menekuk tikungan terlalu dalam dan mendadak. Padahal rute ini penuh dengan tikungan2 tajam dan pendek2 (seperti chicane di sirkuit), yg seharusnya diambil dengan kombinasi memindah-mindahkan berat badan dan tekukan setang dengan cepat.

Karena takut ban depan sliding beberapa kali saat mengambil ditikungan malah motor menjadi melebar keluar, untungnya dari arah berlawanan tidak ada kendaraan. Setelah rute berkelok-kelok di Cikidang dilewati akhirnya jam 10.56 saya tiba di Pelabuhan Ratu, (kok saya bisa tau sampai ke menitnya segala? Karena di tachometer scorpioku saya tempelkan-(pake dobel tape) jam tangan digital, jam tangannya gak yang mahal2 koq (biar gak nangis kalo diambil maling) yg kodian aja paling 20 – 40 ribu, kan banyak tuh di Mangga Dua dan cari yg waterproof).

Walaupun habis diguyur hujan cuaca di Pelabuhan Ratu panas karena matahari sudah bersinar lagi ditambah suasana meriah berbagai klub motor yang touring ke Pelabuhan Ratu, bahkan bukan cuma club motor tapi club mobil juga ada dan tumplek blek di sini. Rider Klub-klub motor ini ada yang mengenakan jacket seragam, lengkap dengan atribut bendera klub dan lain sebagainya. Ada juga klub yang tidak mengenakan atribut seragam, tapi dimotor mereka di behel belakangnya dililitkan pita warna tertentu, supaya bisa dikenali oleh sesama rekan konvoinya. Pokoknya meriah deh……..

to be continued……

Solo Touring ke Ujung Genteng #2

trekker

Pelabuhan Ratu – Ujung Genteng

Setelah mengisi bensin Rp 20.000 (sudah kembali penuh lagi – trip meter menunjukan 137km) saya lanjutkan perjalanan dan sempat bertanya arah ke Ujung Genteng maklum tidak ada petunjuk arah yang jelas. Ternyata saya harus mengambil jalan yang ke arah Sukabumi nanti disana ada pertigaan dan petunjuk arah ke Surade (Surade- kota kecamatan(?) sebelum Ujung Genteng), kita harus ambil jalan yang menuju Surade ini. Cukup mudah ternyata menemukan pertigaan ke arah Surade ini, maka saya pun melaju dengan arah yang sudah benar, di pal kilometer terlihat nama tempat berikutnya yg akan saya lintasi adalah kiara dua, sayang jarak kilometernya tidak terlihat/terhapus.

Kali ini rute yang saya lewati kembali berupa jalan aspal yang relatif lebih sempit dan lebih sepi dari jalan rute cibadak-cikidang, jalanannya mendaki perbukitan, berkelok-kelok dan sisi kiri-kanan jalan makin diwarnai pepohonan yang kian rapat. Suasana terasa sekali makin menjauhi hingar bingar peradaban kota, menuju kesenyapan hutan dan desa. Cuaca kembali diwarnai dengan hujan yang turun tidak terlalu deras tapi cukup merata, asap tipis mengepul dari permukaan aspal jalan yang dibasahi air hujan. Untungnya kami masih mengenakan jas hujan, jadi tidak perlu repot-repot berhenti.

Mat item Scorpioku masih terus menelusuri kelokan-kelokan jalan, meniti pinggang perbukitan di selatan jawa barat ini, cuaca yang basah karena hujan ini menyebabkan suhu mesin tidak over heat dan akibatnya tenaga scorpio saya terasa penuh dan galak untuk melewati tanjakan yang ada. Namun hujan yang turun ini juga menyisakan kekhawatiran pada diri saya karena setelah memperhatikan dinding-dinding bukit ternyat terlihat jelas banyak bekas longsoran-longsoran. Demikian juga di beberapa tempat diruas jalan ini tampak bekas longsoran yang kelihatannya baru dibersihkan dari badan jalan. Kelihatanya jalur ini memang rawan longsor…..

Kira-kira kurang 2 – 3 kilometer dari Kiara Dua, Arif boncenger ku minta berhenti karena ingin pipis dan juga lapar, disebuah warung makan saya pinggirkan motor untuk istirahat dan makan. Jas hujan kami tanggalkan dan kamipun masuk warung untuk makan siang, sambil makan saya sempatkan tanya ke penjaga warung masih berapa lama lagi ke Ujung Genteng, menurut dia masih 1,5 jam lagi kalo jalan santai tapi kalo jalan kenceng 1 jam lagi juga nyampe. Selama kami makan beberapa rombongan biker melintas didepan warung tempat kami makan, rombongan tsb mengarah ke pelabuhan ratu mungkin mereka dari ujung genteng (pikir saya). Jam menunjukan pukul 12.30 ketika saya lanjutkan perjalanan lagi dalam cuaca masih hujan.

Selepas Kiara Dua, kami menjumpai pertigaan, penunjuk arah menunjukan Surade, Ujung Genteng ke arah kanan. Jalanan masih berupa perbukitan dan kami sempat melewati rimbunan pohon cemara yang seakan-akan seperti gerbang saja, karena hanya rimbun ditempat tersebut selanjutnya malah tidak terlihat pohon cemara, melainkan hamparan tanaman teh. Ruas jalan ini memang melewati Perkebunan teh Surangga, dan kalo pas di punggung perbukitan pemandangannya indah sekali karena hamparan pohon teh ini seperti karpet hijau yang menyelimuti bukit-bukit.

Keputusan saya untuk mengganti kampas rem depan belakang sebelum solo turing ini ternyata tepat. Kondisi jalanan yang kombinasi aspal mulus dan kemudian tiba-tiba sergapan tebaran lubang di beberapa tempat di badan jalan, memaksa rem bekerja keras. Soalnya lagi enak2 kenceng nikmati aspal mulus tiba-tiba harus ngerem karena muncul lubang2 yang harus dihindari, kemudian jalan mulus lagi demikian terus menerus.

Hampir sejam berjalan saya rasakan jalanan jadi lebih sering turun ketimbang nanjak, wah kelihatannya sudah mulai menuruni perbukitan mengarah ke pantai nih pikir saya. Sesekali saat menuruni bukit mulai terlhat tepian pantai nun dibawah sana. Mendekati ujung genteng saya melintasi kebun2 kelapa khas pemandangan tepi pantai, bau air lautpun mulai terasa. Kondisi jalanan masih kombinasi aspal mulus dan jalanan rusak.

Tiba-tiba didepan tampak pos retribusi, saya dihentikan oleh petugas yang berjaga setibanya di pos ini, ternyata ini pos retribusi untuk kendaraan yang masuk daerah wisata Ujung Genteng, Horreee …Artinya saya sudah tiba di Uung Genteng. Motor dikenakan Rp 1.000,-, setelah membayar motor saya jalankan kembali tidak sampai 50m saya liat papan bertuliskan Pondok Hexa belok kanan (saya memang booking kamar di Pondok Hexa ini), segera saya belok kanan sesuai arahan tadi.

Kini yang saya lewati adalah jalan ber batu-batu dan pasir, karena menghindari jalan batu2 tadi saya mengambil tepian/bahu jalan yang berupa pasir padat dan sesekali melewati lubang2 yg tergenang air. Suatu saat ketika melipir bahu jalan sebelah kanan saya melintasi sebuah lubang yg tergenang air, rupanya lubangnya cukup dalam dan countur dasar lubang tidak rata dan licin, akibatnya ban depan terpeleset, motor oleng dan hilang keseimbangan. Saya mencoba menahan motor, tapi tanah yang masih basah dan licin menyebabkan usaha ini sia-sia, motor jatuh ke arah kiri …gubraak…dan saya juga terjatuh, benar2 terjatuh sampai helm bagian kiri membentur tanah….jddugg… aduh…; saya bangkit dari posisi jatuh saya masih dalam kondisi kaget dan shock…saya coba lihat arif boncenger saya, ternyata dia tidak apa2, tidak sampai jatuh ke tanah seperti saya.

Jas hujan saya belepotan tanah dan pasir, tapi untungnya tidak ada yang luka atau sakit apapun, saya hampiri motor saya dan coba dirikan mat item scorpioku yang tergeletak di jalan wuih beratnya…. ternyata bener kata orang2 scorpio itu banyakan nyungsep pas lagi kecepatan rendah. Tadi saya juga kecepatan rendah tuh, kurang dari 20 kpj saya kira, wong jalannya jelek gak mungkin dikebut lah, eh koq malah nyungsep…..

Masih dalam kondisi kaget dan setengah nggak percaya koq bisa jatuh tadi, saya mikir lagi oh mungkin…..gini toh Ujung Genteng mengucapkan selamat datang kepada saya, dengan cara mencium buminya, anyway saya bersyukur tidak ada kerusakan pada scorpioku ataupun cedera baik saya maupun boncenger.

Akhirnya saya tiba di Pondok Hexa, yang merupakan sebidang tanah menghadap pantai dengan beberapa bangunan villa/pondokan diatasnya. Saya lapor ke kantor dan kemudian diantarkan ke kamar yang saya pesan. Tepat didepan kamar saya parkir scorpio ku, jam saat itu menunjukan pukul 14.05 dan trip meter menunjukan 211,8 km. Berarti saya menyelesaikan perjalanan tersebut dalam waktu 7 jam lebih 5 menit (berangkat 07.00 – tiba 14.05) tepat seperti estimasi bro Rudin bahwa Jakarta – Ujung Genteng bisa ditempuh dalam waktu 7 – 8 jam. Dan jarak yg dicantumkan dalam peta yaitu 210 km ternyata juga cukup akurat. Alhamdulillah terima kasih ya Allah sudah sampai dengan selamat di Ujung Genteng.

To be continued…………..

Solo Touring ke Ujung Genteng #3


Ujung Genteng.

Setelah melepas semua touring gear (jas hujan, jacket, glove, rompi, safety shoes, helm), dan juga melepaskan side bag, saya baringkan tubuh di kasur di kamar hotel…… aduh nikmatnya bisa meluruskan pinggang dan kaki. Rasanya saat itu inilah tempat tidur yang paling nyaman didunia hehehe.

Kamar yang saya sewa tidak besar mungkin berukuran 3X4 meter, berdinding papan dan tanpa AC tidak ada TV, kamar mandi di dalam – bersih dan air tawar melimpah. Sewanya Rp 85 ribu semalam (di price list 95 ribu). Pondok Hexa ini menyewakan beberapa vila; yang paling mahal harganya kalo tidak salah rp 350 Ribu 3 kamar tidur. Tapi untuk jelasnya bisa minta info di nomor telpon ini 081380585444 hehehe soalnya saya bukan marketingnya hihihihi

Saya juga cari info mengenai prosedur untuk bisa melihat penyu dari petugas hotel, di jelaskan bahwa untuk melihat penyu kita harus ke pantai Pengumbahan pada malam hari, yang jaraknya sekitar 4 km. Dan untuk menuju kesana disarankan naik ojek karena saat ini jalannya rusak berat, mobilpun kalo tidak punya dobel gardan (4X4) tidak bisa lewat (saat ini musim hujan). Sebetulnya bisa juga ditempuh dengan jalan kaki (treking) asal tau jalannya dan kuat fisiknya.

Kemudian saya dihubungi seorang ojeker bernama Rakhmat (HP 081806255751) yang menawarkan jasa mengantarkan ke pengumbahan, tarif ojeknya Rp 35 ribu per orang tarif tsb untuk PP (dijemput dihotel malam hari) dan ditungguin sampai selesai liat penyu, tapi ttarif tsb idak termasuk ongkos masuk kawasan penangkaran penyunya, disini menurut dia tarifnya Rp 30 ribu per rombongan tidak perduli berapa jumlah rombongannya. Untuk mensiasati tarif masuk ini dia menyarankan agar kami perginya bersamaan dengan pengunjung lain yang akan melihat penyu nah nanti terus saweran deh buat bayar ongkos masuknya. Tidak mau repot maka saya setuju dengan saran dia, dan meminta agar dia nanti yang mengatur pembayarnnya ke petugas kawasan penangkaran penyu. Kesepakatanpun dicapai nanti malam kami akan dijemput jam 20.00 dan saya akan bawa motor saya sendiri, sehingga saya hanya membutuhkan satu ojek saja.

Saya masih punya waktu 6 jam sebelum nanti malam dijemput untuk melihat penyu karenanya Setelah sholat dan istirahat sejenak, sekira pukul 15.00 saya putuskan untuk mulai melakukan orientasi wilayah ujung genteng ini, jadi dengan hanya mengenakan sendal jepit dan celana pendek saya dan arif mulai menjelajah pantai ujung genteng dengan menunggang mat item scorpioku. Kami menyusuri jalan off road sejajar garis pantai, kondisi jalan tersebut hanya berupa jalan tanah/pasir dan yang terlihat hanya bekas tapak ban mobil saja. Berjalan diatas pasir yang lembut juga tidak mudah lho karena ban tidak benar-benar menggigit di permukaan pasir, bahkan cenderung stang menjadi berat, sebaliknya ban belakang juga tidak mencengkeram dengan baik jadi kadang ya geal-geol gitu. Arah yana saya tuju adalah daerah cibuaya, jalan off road yang saya ikuti ternyata ber ujung di sungai kecil dangkal dengan lebar 10 – 15 meteran yang bertautan dengan laut (muara).

Saya agak ragu untuk menyeberanginya, walaupun dari jejak roda yang ada kelihatannya kendaraan memang menyeberang disini dengan melintasi sungai; diseberang sungai seorang ojeker yg sedang membersihkan motor disungai tersebut memberi isyarat bahwa di sebelah hulu ada jembatan. Sesuai petunjuk ojeker tadi saya putar motor ke arah hulu dan memang ada jembatan darurat yang terdiri dari empat batang kelapa dijajarkan dan tanpa pagar pengaman. Wah gile nih jembatan tau sendiri kan batang kelapa yang bentuknya membulat menjadikan permukaan jembatan tidak rata, waulaupun diantara dua batang kelapa yang paling tengah terlihat dipadatkan dengan tanah dan pasir supaya agak rata namun tetap saja tonjolan batang kelapa tetap muncul ke permukaan. Jadi kita harus benar2 menempatkan roda ditengah-tengah jembatan dan sama sekali tidak boleh geal geol. Tidak seimbang berarti setang geal-geol dan resikonya nyemplung ke sungai, tinggi jembatan sih gak seberapa paling cuma 1 m dari permukaan sungai tapi tetap aja kalo jatuh fatal akibatnya.

Dengan hati deg-degan saya coba meniti jembatan tersebut, dan untuk menjaga keseimbangan kedua kaki saya turunkan dari foot step…..(kalo pas gini nyesel juga kenapa scopieku saya jangkungin ya kan jadi susah napak kaki saya). Boncenger saya minta diem jangan gerak-gerak….sambil nahan nafas dan konsentrasi penuh….brrmm posisi gigi satu…lepas kopling dan..brrmm..motor melaju perlahan …..dan wess lewat juga tuh jembatan – wuih selamet deh.

Semuanya ada tiga jembatan sebenernya, tapi yang dua lagi saya pilih mengarunig sungainya, inipun juga tidak mudah karena dasar sungainya penuh kerikil karang, (seperti kerikil tapi berwarna putih mirip karang). Yang pernah jalan di tumpukan krikil pasti tau deh gimana beratnya mengendalikan stang motor. Alhamdulillah dengan konsentrasi penuh dua sungai ini bisa diarungi dan sampailah saya didaerah pantai Cibuaya.

Ombak di cibuaya ini lebih besar dari pada ombak di ujung genteng di depan podox hexa. Sebenarnya ada yang ombaknya lebih besar lagi yaitu di daerah ombak tujuh namanya, disini sering dikunjungi wisatawan asing untuk berselancar. Saya tidak menjelajah sampai ke ombak tujuh karena waktunya yang tidak memungkinkan dan juga untuk menjaga supaya fisik tidak terlalu lelah, mengingat nanti malam akan keluar lagi untuk melihat penyu.

Secara keseluruhan kawasan ujung genteng ini membentang dari mulai TPI tempat pelelangan ikan sampai ke arah pengumbahan dan ombak tujuh. Jalan yang menghubungkan tempat-tempat tersebut sebagian besar adalah jalan tanah/pasir (off road) dengan hiasan kubangan-kubangan besar berisi air jika musim hujan, kalau musim kering sih keliatannya aman2 saja untuk dilalui.

Fasilitas pantainya juga jangan dibayangkan seperti pantai carita atau anyer atau ancol yang tersedia sarana rekreasi seperti jet ski, banana boat, penyewaan ban dlsbnya. Pantai di ujung genteng boleh dibilang pantai perawan yang belum tersentuh penataan tangan manusia. Jadi wisata ke Ujung Genteng adalah wisata adventure/out door dan back to Nature tepatnya – (ini yang disukai turis asing, tapi belum tentu disukai turis lokal).

Demikian juga dengan sarana lainnya seperti warung makan atau resto tidak terlalu banyak, biasanya pengunjung disini membeli ikan di pelelangan ikan kemudian minta dibakarkan di warung yang memberikan jasa ini. Mungkin untuk pecinta bakar membakar makanan lebih asik bawa alat bakarnya sendiri plus bumbunya kali ya, soalnya saya sempet ngintip tarif bakar ikannya itu Rp 15.000/kg mahal juga kan. Kalau bakar sendirikan mungkin acaranya jadi lebih meriah gitu.

Buat para pecinta alam, pecinta outdoor activities dan traveller sejati ujung genteng adalah daerah tujuan yang menarik dan menantang, tapi buat penikmat liburan rekreasional yang mengutamakan kenyamanan mungkin ujung genteng tidak cocok.

to be continued

Solo Touring ke Ujung Genteng #4

bintang2

Off Road Malam Hari

Setelah puas melihat-lihat dipantai cibuaya saya segera kembali ke pantai didepan pondok hexa, ini karena Arif sudah tidak sabar untuk berenang. Sore itu cuma Arif sendirian yang berenang di pantai, saya sendiri tidak berenang karena memang tidak bisa berenang dan juga dilarang dokter karena telinga saya kena penyakit mastoid (?) – selaput gendang telinga berlubang, jadi tidak boleh kemasukan air. Sekitar jam 16.30 Arif mentas dari berenangnya kamipun ke hotel untuk mandi dan bersih-bersih.

Selesai mandi sekitar jam 17.30 kami kembali menyusuri jalan2 di ujung genteng ini, kali ini yang kami tuju adalah daerah pelelangan ikan (berlawanan arah dengan pantai cibuaya yang siang tadi kami kunjungi). Didaerah ini terdapat dermaga tua konon sisa peninggalan penjajah jepang, selain itu juga terdapat kawasan hutan lindung. Di pelelangan ikan kami tidak menjumpai aktifitas yang terlalu ramai bukan saja karena kami datang sore hari, tetapi juga karena saat itu adalah musim angin barat sehingga hampir semua nelayan tidak berani melaut, karena ombaknya yang besar. Jadi tidak banyak ikan yang diperdagangkan.

Kami sempatkan makan diwarung tidak jauh dari pelelangan ikan tsb, dan ternyata memang jenis ikan yg tersedia terbatas (karena nelayan tidak melaut tsb diatas) kami pesan ikan tongkol bakar…..hmmm baunya sedap man ketika di bakar…bikin perut makin lapar….hehehe begitu siap saji langsung kita lahap hehehe mantap and kenyang…..

Jam 19.00 kami kembali ke hotel, sholat Magrib dan Isya, terus siap-siap nunggu ojeker datang, cuaca sempat hujan sebentar kemudian terang kembali tersapu angin, sekitar jam 20.00 an Rakhmat-ojeker yang akan bertindak sebagai tour guide kami pun datang. Rakhmat segera meminta kami bersiap-siap karena pengunjung yang lainpun sudah siap-siap bahkan beberapa sudah berangkat (terlihat dari melintasnya beberapa ojek keluar dari area penginapan dengan membawa penumpang).

Karena tadi siang saya sudah melintasi sebagian rute yang akan kami lalui sekitar 1.5 km-an (rute ke pengumbahan ini melintasi cibuaya yg siangnya kami kunjungi), maka saya menjadi over confidence – paling2 kondisi rutenya tidak jauh beda dengan rute ke cibuaya siang tadi dan jaraknya toh cuma 4 km, Jadi malam itu saya hanya mengenakan sendal jepit, celana pendek dan kaos lengan panjang (uniform favorit kalo lagi dipantai) tanpa helm dan glove mengendari scorpioku. Dan ini menjadi bumerang buat saya karena terlalu confidence sehingga mengabaikan sisi safety. Untungnya arif boncenger saya tetap saya suruh pake celana jins, kaos + jacket + rompi.

Kami keluar beriringan dari pondok Hexa, Rakhmat didepan sedangkan saya dan arif mengikuti dibelakang, dijalanan kami ketemu dengan ojeker2 lainnya yang searah ke pengumbahan. Jadilah kami konvoi melewati jalanan off road, pemandangannya mengasyikan beda banget nuansanya dengan konvoi malem di jalan raya. Sorot lampu kita menembus gerumbul semak belukar selain menerangi jalan setapak, pendaran cahaya lampu dan siluet belukar disekitar kita menimbulkan kesan dan nuansa tersendiri.

Petaka pertama terjadi saat melewati jembatan darurat yang tadi siang saya lewati, ketika saya julurkan kedua kaki saya untuk jaga keseimbangan saat melintasi jembatan, jempol kaki kanan saya menghantam sesuatu yang menonjoll di permukaan jembatan, mungkin bagian batang kelapa yang menonjol atau apa tidak jelas. Yang pasti karena hanya mengenakan sendal jepit hantaman tersebut membuat jempol saya berdenyut sakit, dan kelihatannya terluka soalnya terasa perih juga. Sambil nahan sakit saya terus jalankan motor mengikuti ojeker di depan, dibelakang saya juga ada beberapa ojeker lain.

Giliran menyeberangi sungai yang tadi siang mudah saja saya lewati entah mengapa malam itu, saya kehilangan keseimbangan menjelang mendaki tebingnya, otomatis kaki saya turun, namun karena posisi motor yang rada menanjak dan ternyata dasar sungai juga agak dalam sehingga kaki saya tidak bisa menapak dengan tepat mengakibatkan motor nyaris jatuh rebah ke kanan. Saya berusaha mati-matian untuk tidak melepas motor dan menahan berat motor sekuat tenaga supaya motor tidak jatuh, karena kalo motor saya lepas pastilah akan rebah kekanan dan akan terendam di sungai – bisa fatal. Pada posisi itu boncenger saya arif ternyata tidak bisa segera turun dari motor karena celananya nyangkut di footstep belakang. Jadilah saya untuk beberapa saat menahan scorpioku plus boncenger ditengah sungai sampai Rakhmat datang membantu, sementara itu ojeker2 lain melintasi kiri kanan saya untuk kemudian melanjutkan perjalanan.

Rakhmat datang membantu, melepaskan boncenger saya dan membantu menegakan posisi motor saya, untunglah selama saya menahan motor seperti itu mesin tidak mati dan posisi gigi tetap gigi satu (saya tekan kopling terus waktu itu)….fuih untunglah cepat dibantu kalo sampai tercebur semua ke sungai kacau deh. Btw jempol kananku masih perih…..

Kami lanjutkan perjalanan, kami sudah tertinggal cukup jauh dengan rombongan ojeker tadi, jadi kami berusaha berjalan agak cepat, cibuaya segera kami lewati, kami meniti bekas tapak ban mobil bisa dibayangkan lebarnya kan gak sampai 30 cm ditengah-tengah antara dua tapak ban mobil tsb, ditumbuhi rumput atau mungkin alang2 tidak begitu jelas karena malam dan tumbuhan lain yang cukup lebat dan cukup tinggi. Tapak pasir itupun kadang tidak padat sehingga ban kadang geal geol, wah bener2 deh dibutuhkan ketrampilan dan keseimbangan plus konsentrasi yang cukup tinggi nih, padahal saya bukan crosser.

Makin dekat ke arah pengumbahan jalan makin jelek sekarang bukan lagi jalan pasir tapi sudah kubangan2 lumpur yang harus saya lewati, bener2 lumpur, basah, kental, licin. Saya sudah tidak mungkin milih2 jalan, cuma bisa ngikutin ojeker didepan saya karena dia tau jalur mana yang lumpurnya gak dalem. Ojeker di UG ini sebagian besar pake bebek dan sebagian lagi RX King.

Melewati kubangan lumpur ini scorpio ku bener2 kewalahan, kombinasi ban yang licin, bobot yang lebih berat dan power yang gede membuat scorpio bener2 liar untuk dikendalikan. Hard to handle istilah seorang brother di MilYS. Bayangin kalo gas dibuka agak gede dikit ban belakangnya spin dan geser kiri kanan, kalo mengandalkan laju dari gaya dorong motor giliran ban depannya yang gak mau belok, walaupun setang udah dibelokin nyerosot lurus aja karena licinnya lumpur. Beda sama bebek2 ojeker ini yang karena bobotnya lebih enteng dan powernya pas-pasan keliatannya enak aja dia main kombinasi gas dan daya dorong lajunya motor, selain itu mereka juga sudah tiap hari lewat situ jadi tau selahnya.

Kira-kira 300 meter lagi dari pengumbahan Rakhmat – ojeker saya menghentikan motornya, dan minta Arif boncenger untuk pindah ke motor dia. Ini dikarenakan didepan sana kubangan lumpurnya lebih parah lagi, jadi supaya saya lebih lincah dan tidak terlalu berat boncenger harus pindah.

Ternyata didepan memang lebih parah kubangan lumpurnya lebih dalem2 dan parah banget. Berkali-kali kaki saya harus turun untuk menyeimbangkan mat item supaya bisa diarahkan dengan baik, dan jangan sampai kepater….sampai suatu saat ketika kaki kanan saya harus turun kelumpur, begitu saya angkat sandal jepit saya ketinggalan….ampun dah…masak cuma pake sendal sebelah, terpaksa saya buang juga sendal yang kiri. Sekarang saya bener-bener nyeker ..Wah..wah…gile bener nih, asiik dan seru…tapi juga malu sama ojeker-ojeker, tadi udah hampir nyungsep disungai sekarang nyeker lagi….hihihihi untungnya motor saya gak ada sticker MilYS nya jadi gak malu-maluin MilYS hehehehe.

Kebayangkan nyeker, cuma pake celana pendek dan kaos gak pake helm main off road malem2…jauh dari safety riding..bo, ini gara-gara terlalu over confidence

Menanti sang Bintang Panggung

Dengan motor yang belepotan lumpur dan kaki nyeker yang juga penuh lumpur akhirnya kami tiba di tempat penangkaran, Rakhmat segera bergabung dengan ojeker lain mengurus bayar membayar. Saya sempet cuci kaki sebelum rombongan pengunjung ini bergerak berjalan kaki menerobos gerumbulan pepohonan, untuk kemudian tiba ditepi pantai terbuka….pantai pengumbahan.

Suasana pantai malam itu menurut saya boleh dibilang sangat indah. Didepan kami laut lepas berwarna gelap hanya garis-garis putih puncak gelombang saja yang tampak, bulan saat itu tiga perempat penuh, cahayanya menyebabkan pantai seakan diselimuti cahaya lampu lima watt, jadi temaram gitu, tidak gelap pekat. Sesekali cahaya bulan ini meredup saat sang bulan tersaput awan mendung tipis, sesaat kemudian temaram kembali saat awan mendung tapi hilang ditiup angin. Suara deburan ombak laut selatan yang memecah dipantai yang berpasir melandai ini menjadi background vocal alam saat itu. Kami pengunjung duduk bergerombol dikelompoknya sendiri2 bicara dengan pelan-pelan, seakan takut memecah suasana konser alam ini, kami seperti berada di teater alam saja rasanya – menanti sang bintang panggung (si penyu itu hehehehe) keluar.

Sambil duduk dipasir pantai (kalau aja bawa alas tidur pasti lebih enak nih), saya ngobrol dengan Rakhmat, dia menjelaskan kalo sepanjang pantai ini terdapat 6 pos penjagaan/pengamatan penyu dimana jarak dari satu pos ke pos yang lain sekitar 1 km an, dan sekarang kita berada di perbatasan antara pos no 1 dan pos no 2. Menurut dia yang paling baik untuk liat penyu adalah bulan Juli – Agustus, karena bulan-bulan itu saat puncaknya musim penyu bertelur – bener nggak nya sih walahualam ya soalnya saya bukan ahli biologi jadi coba cross check kebenarannya dengan sumber lain. Tapi kalau pendapat saya sih memang bagusnya dateng bulan Juli – Agustus setidaknya itu musim kemarau jadi jalan tidak berlumpur seperti sekarang, terus bukan musim angin barat jadi nelayan bisa melaut, ikan melimpah dan harganya bisa murah. Satu tips lagi sebaiknya kalo ke ujung genteng jangan cuma 1 malam, minimal 2 malam, supaya balance antara capek dijalan dan menikmati tempat wisata ini.

Saya coba lihat jam di hp saya; ternyata tidak terasa sudah jam 21.35, wah saya mulai gelisah dan was-was nih, jangan2 si penyu tidak mendarat malam ini. Kalau sampai gak mendarat sia-sia deh perjuangan off road malem2 saya. Menurut Rakhmat bisa aja si penyu melihat gerombolan manusia di pantai ini sehingga dia balik kembali ke laut mengurungkan niatnya untuk bertelur, makanya oleh petugas di pos awal tadi disarankan pengunjung tidak heboh, tidak jalan mondar-mandir dan tidak foto-foto dgn lampu blizt, jadi harus duduk manis tenang-tenang begitu.

Waktu terus berjalan malam semakin larut, saya terus terang mulai mengantuk dan badan ini mulai terasa capek, karena praktis seharian ini kami tidak istirahat. Jam 22.40 Rakhmat memberitahu kalo ada penyu yg sedang mendarat tapi letaknya di pos empat, (ada kode dgn lampu senter dari petugas pos) dia minta kami bergegas jalan sebelum kedahuluan pengunjung lain.

Saya dan Arif pun bangkit dan segera berjalan menyusuri pantai mengikuti Rakhmat dan beberapa temannya sesama ojeker/merangkap tour guide. Kami termasuk rombongan yang berada didepan, karena ketika saya tengok dibelakang saya lihat gerombolan pengunjung lain berjalan mengekor kami. Semuanya kelihatan bersemangat berjalan karena rasa antusias ingin melihat penyu bertelur. Berjalan kaki diatas pasir lembut tentunya berbeda dengan berjalan dilantai Mall-mall hehehe, lama-lama kaki terasa berat untuk melangkah. Padahal jarak yang ditempuh sekitar 2,5 km – 3 km (start di perbatasan pos 1 & 2 sementara penyu ada di pos 4, jarak antar pos hampir 1 kilo), gak heran badan mulai terasa berkeringat dan napas jadi pendek2.

Mendekati lokasi penyu kami diberi kode oleh petugas untuk berhenti dulu, jangan langsung mendatangi penyu, ini untuk memberikan kesempatan si penyu menyelesaikan proses bertelurnya mendekati tuntas. Jeda menunggu ini kami manfaatkan untuk mengatur irama nafas kami kembali setelah tadi ngos-ngosan berjalan cepat diatas pasir. Tidak lama kemudian kami diperkenankan untuk melihat sang bintang, segera kami berhamburan mendekati lubang bertelur yang digali sang penyu.

Penyu yang bertelur saat itu tidak terlalu besar lebar sekitar 60cm dan panjang sekitar 80 – 90 cm, saya bilang tidak terlalu besar karena menurut Rakhmat biasanya ada yang lebih besar lagi dari ukuran tersebut. Warna tempurungnya hijau gelap. Pengunjung diperkenankan memotret sang penyu. Setelah pengunjung semakin ramai bergerombol memperhatikan dia, tampaknya dia mulai merasa terganggu dan segera menutup lubangnya secara tergesa kemudian berjalan meninggalkan lubangnya ke arah pantai. Kemudian perlahan-lahan membuat putaran untuk berjalan mengarah ke laut lepas.

Sang penyu berjalan perlahan menyusuri pantai yang landai mengarah ke laut dengan di iringin kilatan blits paparazi hehehe, dan iringan pengunjung yang melihat….persis seperti bintang panggung hihihihi.

Saya sebenarnya ingin memperhatikan penyu ini sampai terus mencapai laut, tetapi tiba-tiba butir-butir air hujan mulai berjatuhan dari langit, saya lihat awan mendung tebal menggantung diatas kami. Wah hujan deh….tidak pake gerimis-gerimisan hujan langsung turun cukup deras, pengunjung segera meninggal pantai terbuka bergegas menuju gerumbul2 pepohonan untuk berteduh. Berbekal lampu senter (oh iya jangan lupa bawa senter kalo liat penyu ya) kami juga segera berteduh dibawah pepohan (pandan laut?), pada saat menuju ke gerumbul pepohonan ini lah kaki telanjang saya menginjak duri. Entah duri apa yang menusuk itu, tapi yg jelas durinya masuk tertinggal didalam dibawah kulit telapak kaki (telusupan kalo orang jawa bilang).

Jadilah sepanjang jalan saya menuju tempat motor diparkir terpincang-pincang karena telusupan duri tadi. Kembali kami konvoi ojeker menuju tempat penginapannya masing-masing. Perjalan kembali dari pengumbahan dilalui dalam cuaca hujan rintik2, masih sama berat seperti ketika berangkat namun karena tujuan lihat penyu sudah tercapai saya lebih pede dalam melintasi medan off road ini walaupun dengan kaki senut2. Jam 24.10 kami tiba di hotel, dengan badan capek, motor kotor banget, kaki sakit….tapi hati puas, benar-benar pengalaman yang menyenangkan. Rakhmat pamit pulang dia kasih no HP mana tau besok saya butuh dia lagi atau kapan2 saya berkunjung lagi bisa menghubungi dia, Saya dan Arif segera cuci kaki, bersih2 dan ganti baju kering kemudian segera merebahkan diri dikasur untuk tidur………..zzzzzzzzzzz……zzzz

Kembali ke Rumah..

Jam 05.00 saya sudah bangun sholat subuh….kemudian tidur lagi….zzzz….zzzz, jam 06.30 bangun….laper …..makan roti sobek bekal dari rumah dan keripik jagung (tortila) minum aqua botol dan…..bless tidur lagi…masih capek bo…zzzz

Baru jam 07.30 saya bangun mandi dan mulai packing untuk siap2 pulang, saya liat arif masih tidur saya biarkan saja pasti dia masih kecapekan tuh. Saya keluar liat kondisi motor, kecuali belepotan lumpur semuanya berfungsi baik….beres berarti siap diajak jalan pulang. Tapi sebenernya meringis juga saya liat tampang si mat item yang udah kayak kebo gitu…..belepotan lumpur kering….mudah2an nanti pas pulang dijalan hujan deres ya supaya kamu agak bersih….doa saya hehehe

Sekitar jam 08.30 saya bangunkan arif untuk segera mandi, pasang lagi side bag, terus selesaikan urusan bayar membayar hotel, pake touring gear lagi…..akhirnya jam 09.00 kami bergerak meninggalkan ujung genteng. Terus terang tadinya masih mau mampir ke Cikaso, tapi karena badan rasanya masih agak capek, atas persetujuan arif disepakati, kunjungan ke tempat tujuan wisata tambahan di batalkan, di skip untuk next touring hehehehe. Untungnya arif setuju langsung balik ke Jakarta tuh (mungkin dia juga masih capek kali ya) kalau tetep ngotot mau ke cikaso ya pasti saya belokin ke cikaso.

Perjalanan pulang lancar, selepas dari “gerbang cemara” kiara dua kami berhenti di rumah makan untuk makan setengah siang….soalnya baru jam 10.45, dibilang makan siang belom siang dibilang sarapan udah kesiangan. Disini sempet betulin dulu jam digital di tachometer, yang hampir copot karena dobel tapenya lepas mungkin karena kena air garam kali ya, untung saya bawa cadangan dobel tape, jadi bisa nempel lagi.

Rute yang saya tempuh sama seperti berangkat tapi kebalikannya, UG – Plb Ratu – Cikidang – Cibadak – Ciawi – Bogor. Saya rasakan tanjakan dari pelabuhan ratu ke Cikidang lebih curam dibandingkan dari arah sebaliknya, karena ternyata saya di beberapa tanjakan sampai terpaksa menggunakan gigi satu. Entah itu karena saya yang salah ambil ancang-ancang atau scorpieku yang lagi agak overheat, yang jelas waktu berangkat kemarin saya tidak pernah sampai pakai gigi satu ditanjakan didaerah ini. (bener nggak sih, sapa yg pernah lewat sini konpirmasinya donk)

Menjelang di Cibadak lagi enak-enaknya menikmati jalanan mulus, tiba-tiba saya disalip sebuah Mio….wuiss kenceng banget. Saya pikir tadinya biker lokal soalnya ngambil tikungannya berani banget kayak udah hafal…..tapi gak lama kemudian dari kanan kiri saya disalip Mio-mio lain wess….wess …..edan kenceng-kenceng banget ini mereka turing apa lagi road race…batin saya. Padahal mio itu diperuntukan untuk cewek lho harusnya kan bawanya lembut dan elegan …..hehehe; tapi ditangan mereka berubah menjadi beringas begitu…..ck…ck…ck edan tenan.

Sampai di Cibadak saya isi bensin Rp 30 ribu sudah digaris full lagi meter bensinku. Memasuki Curug sesuai harapan saya hujan turun lumayan deres, asiik mesin jadi adem tarikan makin yahud nih…….sepanjang jalan pulang ini saya juga ketemu berbagai klub motor yang juga pulang turing. Salah satunya kalo gak salah liat ya Club Shogun Depok…mereka pake gaya turing baris berbaris….ada petugas, ada isyarat kaki dlsbnya….rapi. Sambil toet-toet saya minta jalan ke petugasnya yang paling belakang….dan mereka dengan rasa biker brotherhood…..mempersilahkan saya lewat. Saya melewati petugas tsb dengan ancungan jempol dan senyum yang dibalas dengan ancungan jempol dan senyum juga……

Bogor seperti biasa macet…..lepas warung jambu saya belok kiri lewat jalan pemda yg ke Depok……dah males nih kalo masuk kawasan ini gak ada yg bisa diceritain tiap hari juga bros & sis hadapi suasana yg kayak gini khas kota metropolitan lah….macet.

Jam menunjukan pukul 16.20 ketika motor saya nyampe di Poltangan 3 no 52A dihalaman samping rumah, fisik capek tapi hati puas, trip meter motor menunjukan angka 438km. Alhamdulillah kami pulang dengan selamat. Saya cek semua anggota keluarga Alin anak saya paling besar sudah pulang dari gunung, isteriku sms ngabarin dia dan Aliya on the way kerumah setelah jemput Aliya dari rumah budenya. Well berarti malam ini kami akan berkumpul kembali dirumah….dan Alhamdulillah semuanya selamat.

The End…….deh///

Salam biker brotherhood/imam arkan MiLYS 170

Ride Safely and Respect Other

Segala Saran, kritik dan koreksi saya terima dengan tangan terbuka

Note :

Statistik turing

Bensin habis rp 60 ribu (full tank to full tank)

Kilometer 438 km

waktu tempuh berangkat 7 jam 5 menit

waktu tempuh pulang 7 jam 20 menit

km berangkat jkt ? ug = 211,8 km

km pulang unrecorded karena tidak sempat catat kmnya waktu start dari UG

speed rata2 waktu berangkat = 30,26 km

total speed rata2 = 30,21 km

Total biaya turing Rp 351.600,- (untuk 2 orang), (pengeluaran tsb untuk Hotel,

BBM,Ojeker,Makan,Logistik)


Solo Touring ke Kawah Ijen (Tamat)

direction

Etape VII : Batang – Pekalongan – Tegal – Cirebon – Bekasi – Jakarta = 378 km

Sabtu, 15 Juli 2006

Pagi itu setelah sholat subuh saya tidur-tiduran lagi, saya tidak terburu-buru karena semua muatan tetap diatas motor tadi malam, jadi tidak perlu ada packing lagi, sehingga saya bisa sedikit santai pagi itu. Apalagi ini adalah etape terakhir saya untuk sampai Jakarta, jadi beban mental semakin ringan dan percaya diri bahwa sore ini sampai di Jakarta makin menggumpal.

Sekitar jam 08.00 sambil menunggu arif selesai mandi saya check kondisi mat item Scorpio ku. Ketika saya coba start….ternyata hanya bunyi trrrrrrttt….trrrrrt, dam lampu netral juga langsung padam……waduh akinya kayaknya tekor, kemarin memang sepanjang siang dan malam lampu menyala terus, kemarin saya berjalan hampir 12 jam dari jam 9.30 sampai 21.30 apakah ini yang menyebabkan aki tekor saya tidak tau pasti. (sepanjang turing ini saya memang menyalakan lampu baik siang maupun malem).

Akhirnya dengan kick starter motor bisa saya hidupkan, sebelumnya saya periksa olinya dan posisinya ditengah-tengah antara batas atas dan bawah. Setelah dipanasi cukup lama, saya coba starter electric….ternyata bisa, hmm mungkin memang akinya yang drop nih, padahal itu aki baru, beli sebelum turing ini cuma karena mungkin dihajar siang malem dan mungkin sistem pengisiannya yang kurang bagus makanya jadi tekor. Sepertinya di Jakarta nanti musti di periksa lagi nih sistem kelistrikannya.

Jam 08.30 setelah semuanya beres kami pun melanjutkan perjalanan, motor keluar halaman hotel dan langsung saya arahkan ke barat menuju pekalongan, pemalang dan selanjutnya Tegal. Aktifitas orang dipagi hari menyebabkan jalanan menjadi ramai sehigga kami tidak bisa mengembangkan kecepatan, barulah setelah lepas dari keramaian kota sedikit demi sedikit kami bisa mengembangkan kecepatan.

Awal-awalnya sih kecepatan masih saya kembangkan di 70-80 kpj, tapi setelah tubuh, mata dan pikiran “tune in” dengan kondisi jalan dan kondisi motor maka kecepatan pun meningkat sampai 80 – 90 kpj. Setelah isi bensin di Tegal dan juga menambahkan oli ke mesin Mat Item, saya lebih percaya diri lagi untuk mengembangkan kecepatan menjadi 90 – 100 kpj.

Walaupun beberapa tempat di jalan pantura ini berlubang namun tidak menghambat saya untuk menjaga kecepatan di 90 kpj keatas. Pukul 11.00 saya sudah tiba di Cirebon (129km dari pekalongan). Lepas dari Cirebon kali ini mat item duel dengan bis-bis dan truk-truk di jalur pantura yg sudah seperti boulevard karena masing2 arah memiliki 2 lajur dengan pemisah jalan ditengahnya. Seperti malam sebelumnya di jalur Kendal – Batang, duel kali ini lebih seru karena dilakukan siang hari sehingga mata lebih awas memperhatikan jalanan.

Luragung Jaya, Dewi Sri, Deddy Jaya dan sejumlah angkutan Elf plus Truk-truk Cargo merupakan lawan duel mat item kali ini…. beberapa mobil penumpang juga sempat duel dengan mat item antara lain sebuah opel Blazer berplat nomor E, sempat beberapa kali saling susul, tapi akhirnya harus mengakui keunggulan motor ketika dia harus tertahan kemacetan akibat jembatan darurat…….. mat item melenggang dengan melintas diantara kendaraan yg terjebak macet….hehehe.

Dijalur ini mat item cuma dikalahkan satu motor yaitu ninja KRR, dia juga boncengan tapi larinya kayaknya enteng banget, saya cuma bisa membuntuti sambil mengikuti racing line nya untuk menghindari lubang dan jalan rusak. Kalau pas jalan mulus saya ketinggalan jauh juga sih, tapi mungkin sayanya yang nyalinya kurang cuma manteng di 110 kpj.

Kalau waktu berangkat saya selalu berusaha menjaga kondisi motor, maka pas pulang di etape akhir ini, saya justru agak memforsir mat item, mungkin karena ingin lekas sampai rumah. Jam 13.00 dipemanukan kami berhenti untuk makan siang dan lanjut lagi setengah jam kemudian, dengan riding style masih sama geber abis….hehehe. (Akibat motor digeber terus yg jadi korban adalah side bag saya yang sebelah kanan bolong terbakar kena kenalpot mat item, satu celana juga bolong…..untungnya gak menyala jadi api ya….; saya baru tau setelah sampai rumah ketika bongkar side bag. Padahal turing-turing sebelumnya side bag ini juga kena kenalpot lho tapi gak apa-apa tuh).

Jam 15.30 saya sudah tiba di Bekasi…..asyiik bentar lagi nyampe rumah nih….eh gak taunya bekasi luar biasa macet cet, lepas dari bekasi, sampai di kali malang di pertigaan kranji macet lagi, kendaraan sudah pada untel-untelan saling serobot…huh menyebalkan.

Dengan susah payah mat item bisa keluar dari kesemrawutan di pertigaan tersebut, dan melanjutkan perjalanan…..sebel juga kehilangan banyak waktu karena kemacetan tadi. Lampu merah Halim lewat, Uki juga lewat, belok ke Dewi Sartika kemudian belok kiri lagi ke menyusuri jalan Kalibata…..hih sudah makin dekat rumah……siip deh paling tinggal kemacetan di Pasar Minggu nih. Pasar Minggu ….eh ternyata motor bisa nerobos under pass yg belum selesai, asiik gak jadi kena macet, rel kereta juga pas gak ada kereta lewat…jadi bablas aja.

Dan akhirnya tepat jam 16.35, saya tiba kembali di rumah di Jl Poltangan III/52a, langsung parkir di halaman samping…..Alhamdulillah. Saya segera lihat trip meter mat item, 2.291km. Berarti hari ini saya menyelesaikan 378km (dari Batang – Jakarta) dalam waktu 8 jam (jam 08.30 – 16.35) atau kecepatan rata-rata = 47,25 kpj…..lumayan tidak jelek2 amat.

Alhamdulillah sore itu saya berkumpul lagi bersama keluarga setelah menyelesaikan solo turing saya ke kawah Ijen dengan selamat. Saya tidak tau kapan akan solo turing lagi…..kayaknya sih masih lama deh…..hehehehe

Jakarta, 25 Juli 2006.

Imam Arkananto

MiLYS 170

SIM-C #018

Data dan Statistik :

Total km = 2.291 km (lebih sedikit dari yg direncanakan karena opsi ke Banyuwangi di drop)

tgl Turing 09 Juli – 15 juli 2006

BBM dibutuhkan = Rp 318.000,- setara 70,6 liter

Pemakaian bensin rata-rata = 32 km/liter

Total pengeluaran Rp 1.685.500,- terdiri dari

Hotel Rp 778.000 (7 malam)

Makan Rp 331.500,- (2 orang selama 7 hari)

Lain2 Rp 258.000,- (ganti oli, kampas rem, sepatu, tiket masuk dll)

BBM Rp 318.000,-

(data uang rupiah ini saya buka disini tidak ada maksud apa2 selain agar data ini bisa menjadi acuan bagi siapa saja yg ingin bersolo turing).

Nyungsep = 1 kali, ketika mat item roboh dihutan pinus.

Puji dan Syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan keselamatan kepada saya dan Arif selama melakukan solo Turing ini.

Ucapan Terima Kasih saya sampaikan kepada :

Isteri Tercinta yang telah memberikan dukungan baik materi maupun immateril

Alin dan Aliya atas doa nya.

Kakak dan Adik-adik atas dukungan materi dan doanya

Mas Belo & keluarga atas bantuan penginapan

Mas Oth yg selalu memantau posisi saya

Solo Touring ke Kawah Ijen #9

penambang1

Jam menunjukkan pukul 17.30 ketika saya sedang menyiapkan pakaian untuk resepsi (baju batik + celana formal….hehehe lucu juga turing koq bawa baju batik), baru saya sadar ketika melihat sepatu safety shoes saya basah kuyup di hajar hujan seharian tadi (sedangkan sepatu arif tidak terlalu basah karena posisinya sebagai boncenger jadi lebih terlindung)……wah-wah gak mungkin dipake nih, bisa masup angin kalo dipaksakan apalagi badan lagi kurang fit gini. Jadi terpaksa saya pergi keluar hotel untuk beli sepatu.

Saya jalan kaki menuju jalan Gatot Subroto karena siang tadi saya lihat jalan ini penuh dengan pertokoan, siapa tau ada toko sepatu disana. Tapi ternyata sebagian besar toko sudah tutup – (mirip pertokoan di glodok jakarta) yang terlihat cuma deretan rolling dor atau pintu besi model harmonika, lagi pula tidak terlihat toko sepatu. Harapan saya muncul ketika melihat sebuah toko perlengkapan ABRI masih buka, pasti disini jual sepatu abri untuk PDH (pakaian dinas harian) yg model kantoran. Yes bener juga ada sepatu model kantoran yg sampai mata kaki dengan resleting di sisi bagian dalam, segera cari ukuran 40…dapet, sekalian juga beli kaos kakinya total Rp 110 ribu…..fuii beres deh. Jadi nanti resepsi pake sepatu abri baru….hehehehe

Pukul 18.30 saya dan Arif keluar kamar dengan pakaian formal, kemeja batik dengan motip yang serupa dan celana hitam, bersepatu hitam, rapi, necis dan wangi ….hehehehe jauh dari kesan biker yang baru menempuh perjalanan jauh.

Resepsinya sendiri berjalan lancar, tamu yang menghadirinya banyak sekali, makanannya juga lezat-lezat, pokonya makan enak lah….; seperti biasa juga ada acara foto-foto. Menjelang pukul 21.15 acara resepsipun berakhir, saudara-saudara yg berasal dari surabaya dan lumajang pamit pulang.

Saya pun kembali ke kamar untuk istirahat, Wah lega sekali rasanya tugas sebagai utusan mewakili keluarga besar saya di jakarta untuk hadir dalam resepsi ini tuntas sudah, semua pesan dan salam dari jakarta sudah saya sampaikan kepada yg punya hajat. Jadi dengan demikian MISSION COMPLETED, kalau main game komputer gitu kali pesan yg muncul di layar.

Tinggal lagi memikirkan perjalanan pulang ke jakarta, apalagi logistik terutama obat2an (vitamin dan jamu tolak angin ku) sudah habis plus kondisi mat item yg kurang fit agak mengganggu pikiran saya……hmmm tapi itu soal nanti yg penting sekarang tidur dulu…..gitu pikirku…..

Etappe VI : Malang – Blitar – Ponorogo – Solo – Semarang – Batang = 485 km

Jum’at 14 Juli 2006.

Jum’at pagi setelah sarapan bersama keluarga Dik Tjuk, saya pun segera menyiapkan mat item, oli saya tambahkan lagi, side bag saya pasang, sekarang bahkan diatas tangki saya letakan kotak sepatu berisi safety shoes saya yang masih basah tentunya lagi-lagi menggunakan cargo net sebagai pengikatnya, ternyata sungguh bermanfaat cargo net yang selalu saya sungkupkan ke tangki mat item ini.

Bill hotel segera saya selesaikan, dan beruntungnya ternyata Hotel Margo Suko ini melayani pembayaran dengan credit card, jadi lumayanlah bisa menghemat uang kas ditangan, hehehe padahal rate kamarnya cukup murah yaitu Rp 125.000,- semalam setelah diskon, rate aseli sebelum diskon Rp 180.000 kalo gak salah. Cukup murah menurut pendapat saya lho, soalnya kamarnya bersih dan apik, wah bisa jadi tempat nginep andalan nih kalo liburan ke Malang lagi….hehehehe.

Pukul 09.30 saya berpamitan dengan keluarga Dik Tjuk, dan kamipun segera menunggangi mat item. Cuaca pagi itu cukup cerah walaupun disana – sini tampak berawan. Keluar dari kota Malang tidak sulit tinggal menelusuri lagi jalan yang kemarin dengan arah yang berlawanan. Sedikit diluar kota Malang saya sempatkan untuk mengisi Bensin, saya minta petugas pom bensin untuk mengisi Full Tank, ternyata butuh Rp 33.000,- untuk mengisi penuh tangki besin mat item.

Malang – Blitar berjarak sekitar 77km, jalan menuju Blitar ini cukup baik, lebar dan mulus, suasananyapun cukup ramai, seperti umumnya jalan di jalur selatan pulau jawa jalanan menuju blitar ini juga berkelok-kelok dan naik turun, karena memang sebagian besar daerah selatan jawa adalah perbukitan atau dataran tinggi. Namun kelok2an dan suasananya kali ini tidak seperti jalur Lumajang – Malang kemarin. Satu lagi ciri khas jalur selatan pulau jawa ini adalah seramai-ramainya jalur selatan tetap saja tidak seramai jalur di Pantura, mungkin hal ini disebabkan juga karena jarak satu kota dengan kota lainnya tidak terlalu rapat.

Dengan kondisi yang demikian maka di jalur selatan ini lebih memungkinkan untuk mempertahankan kecepatan pada tingkat tertentu lebih lama – atau tingkat kecepatan konstan lebih lama. Jadi walaupun sulit untuk mengembangkan top speed karena jalurnya yang berkelok-kelok, namun jalur selatan tingkat hambatannya lebih sedikit, alhasil kadang waktu tempuh bisa lebih cepat. Lain dengan jalur pantura, yang kadang kita bisa menggapai top speed di 110 – 120 kpj, tapi setelah itu harus bermacet ria karena ketemu pasar tumpah, atau terhadang oleh truk yang berjalan lambat.

Mat item biasa saya pacu melalui jalur selatan ini di kecepatan 80kpj, tapi jika pas jalur memungkinkan, top speed hanya bisa mentok di 100 kpj, sebelum kemudian harus mengurangi kecepatan karena muncul kelokan berikutnya.

Blitar ternyata bisa kami lalui lebih cepat dari yang saya bayangkan, tapi sebelum sampai di Blitar kami melewati kota Wlingi disini terdapat bendungan Ir Sutami (waduk karang kates?), fisik bendungan bisa terlihat dari jalan raya. Sayangnya saya tidak sempat mengambil fotonya karena padahal pemandangannya lumayan cantik, mengingatkan saya pada bendungan Jatiluhur di Purwakarta.

Ketika mengarah keluar kota Blitar ada papan penunjuk jalan menuju makam Proklamator Indonesia – Presiden Pertama Indonesia Ir Soekarno, sayangnya karena Arif sudah pengen pulang dan tidak mau saya ajak untuk mampir ke sana jadi saya tidak mengunjungi makam sang Proklamator ini. Padahal pengen juga tahu seperti apa sih makamnya.

Alhasil kami teruskan perjalanan meninggalkan Blitar mengarah ke barat, dan karena situasi jalan seperti yg saya sampaikan diatas lebih sepi dan minim hambatan maka kota demi kota pun dapat kami lalui dengan cepat. Tulung Agung, Trenggalek lewat sudah, sampai akhirnya kami tiba di Ponorogo – kota Reog (kesenian khas ponorogo) dan juga kota Warok (mungkin semacam jawara kali ya kalo di Jakarta tempo dulu) pada jam 13.30. Karena tuntutan perut dan saya tertarik dengan banyaknya warung nasi gule dan sate kambing, akhirnya saya berhenti disebuah warung kecil disudut jalan yang menjual nasi gule dan sate kambing.

Saya dan arif pesan nasi gule dan masing-masing sepuluh tusuk sate kambing. Tempat gulenya terbuat dari Guci tanah liat, mengingatkan saya pada penjual nasi Gule Tikungan (Gul Tik) di jalan Mahakam – Bulungan dikawasan Blok M. Yang membedakan adalah gule yang di Ponorogo ini rasanya jauh lebih mantap….sedep bumbunya meresap dan seger serta porsinya lebih banyak, udah gitu harganya murah lagi. Sate kambingnya tusukan memang tidak besar-besar tapi dagingnya asli empuk banget. Saking uenaknya saya dan arif nambah lagi nasi gulenya…….Pas bayar kami kaget cuma ditagih Rp 21.500,- saya sampai meyakinkan diri lagi ke si ibu penjual, apa sudah dihitung semua? Katanya sudah dihitung semua, ya sudah saya bayar. Sampai diatas motor ketika melanjutkan perjalanan pada jam 14.00 saya masih kuwatir kalo2 si ibu penjual salah hitung…..; sebagai gantinya ya sudah saya do’a kan saja semoga di kasih rezeki yang banyak dan dagangannya laris manis…………..

Country road, take me home…to the place I belong….south Jakarta, country momma….take me home…country road….Bait lagu country road dari John Denver terngiang di pikiranku, ketika menyusuri jalan antara Ponorogo dan Wonogiri……..kombinasi pemandangan alam, jalanan yang berkelok-kelok dan kerinduan untuk segera kembali ke rumah cocok sekali dengan bait-bait lagu John Denver tadi……

Mat item terus menelusuri jalan selatan jawa yang indah, melewati wonogiri dan kemudian menuju Solo, jam 16.30 saya sudah tiba di Solo dilanjutkan mencari jalan ke Semarang via Boyolali – Salatiga – Bawen dan Ungaran….. Setelah sedikit berputar-putar dan bertanya akhirnya didapatlah jalan yang benar.

Sedikit diluar Solo sekitar jam 17.00 saya berhenti untuk sholat ashar dan istirahat sejenak, ketika akan melanjutkan perjalanan lagi sekitar pukul 17.30 saya cek kembali ketinggian oli Mat Item, ternyata agak berkurang cukup banyak walaupun masih sedikit dibawah garis atas, agak kuatir juga saya dengan kondisi tersebut karena jam segini sulit untuk cari bengkel yg jual oli Yamalube..(persediaan oli saya sudah habis di Malang).

Akhirnya saya tetap lanjutkan perjalanan dengan harapan dehidrasinya gak bertambah parah setidaknya oli masih ada sampai di Batang nanti (sekitar 90km dari semarang). Jalur Solo – Semarang via Boyolali ini ternyata cukup padat terutama dengan truk-truk Container dan Bus-bus Malam yang mulai keluar (Solo – Jakarta). Truk-truk Container ini kelihatannya membawa peti kemas yang akan dikapalkan dari Semarang jadi muatannya penuh makanya jalannya lambat dan berat.

Jam sudah menunjukan pukul 19.00, ketika saya masuk kota Semarang, sempat terhambat karena macet akibat adanya pembukaan sebuah Vihara di pinggiran kota Semarang, Vihara besar tersebut kelihatan Megah dan penuh dengan cahaya lampu. Untungnya sesudah melewati kemacetan tersebut jalan cukup lancar dan panduan arah menuju keluar semarang cukup terlihat jelas.

Lepas dari kota semarang kami tiba di ruas Kendal – Batang dengan jalan-jalannya yang bagus serta melalui Boulevard Alas Roban. Di ruas ini mat item ber duel dengan bus-bus malam dan truk-truk barang, saya bilang duel karena mat item saya pacu cukup kencang 80 – 100 kpj, menyalip bus-bus malam dan truk kadang juga mobil penumpang. Saya cukup percaya diri melibas jalur Boulevard Alas Roban ini karena tahu kondisinya cukup bagus tidak ada lubang2 dan jalurnya cukup lebar sehingga leluasa untuk menyalip.

Rasanya jalur ini lebih cepat saya tempuh pada malam hari dibandingkan waktu siang hari kemarin ketika saya berangkat. Mungkin hal ini disebabkan pada malam hari tidak ada lagi aktifitas orang dipinggir jalan, kalau siang kan ada aja orang yg bersepeda, atau menyeberang dan lain sebagainya.

Akhirnya jam 21.30 saya tiba di Batang, saya putuskan untuk menginap kembali di Hotel Sendang Sari, walaupun arif tidak setuju, dia pinginnya kita nonstop, langsung saja ke Jakarta. Tadinya saya pingin juga mencoba nonstop, tapi mengingat mat item dalam kondisi dehidrasi dan mempertimbangkan resiko yg mungkin terjadi maka saya putuskan untuk menginap saja.

Kali ini side bag tidak saya turunkan dari mat item, saya hanya ambil pakaian ganti untuk besok pagi saja, seperti biasa saya catet dulu trip meter yg dicapai oleh mat item hari ini, ternyata menunjukan angka 1.913 km….hmm lumayan berarti hari ini saya menempuh 485km, dan berkendaraan selama 12 jam yaitu dari jam 9.30 pagi sampai 21.30, rasanya ini etape terpanjang dari turing saya kali ini……pantes terasa capek banget malam ini…..habis mandi dengan air hangat saya langsung pules…..zzzzzzzzzzzzz…(sedangkan arif masih nonton tv)….

to be continued

Solo Touring ke Kawah Ijen #8

milysatijen

Etape V: Lumajang – Malang (128km), Mission Completed

Kamis, 13 Juli 2006

Seperti biasa saya terbangun jam 04.30 karena alarm handphone saya, Lho koq hujan ini kan musim kemarau….batin ku ketika mendengar suara rintik hujan diatas genting, setengah tidak percaya saya lihat dari jendela….ternyata memang hujan.

Hari ini rencananya saya akan menuju Malang, untuk menghadiri resepsi pernikahan keponakan saya. Rencananya saya akan mengambil jalur selatan dengan rute Lumajang – Tempeh – Dampit – Kepanjen – Malang dengan jarak sekitar 128km, rute ini memang pendek tapi tidak bisa dianggap enteng.

Jalur selatan yang satu ini terkenal dengan pemandangan indah dan menggentarkan, jalanannya sempit berkelok-kelok melipir pinggang perbukitan, dengan jurang-jurang sangat dalam siap menerima pengendara yang tidak waspada. Kalau gak salah rute ini melewati daerah yang dinamakan piket nol (CMIIW). (Sebenernya ada beberapa objek yg bagus buat di foto tapi karena hujan jadi gak jadi di foto)

Makanya saya sangat berharap ketika melewati jalur ini cuaca adalah cerah, supaya bisa menikmati pemandangannya dengan santai dan waspada, tapi pagi ini koq ndelalah hujan…….. ..

Jam 08.30 semua sudah siap, side bag sudah diatas mat item, demikian juga mat item olinya sudah saya tambahin lagi….tapi hujan tidak kunjung berhenti, akhirnya saya putuskan untuk tidur-tiduran lagi sambil nunggu hujan, apalagi sebenernya capek sisa mendaki kemarin belum tergantikan dengan tidur semalem.

Jam 09.30 hujan masih turun juga, saya coba keluar untuk melihat situasi langit…..walah, awan mendung rata menutup daerah berkilo-kilo meter, tidak ada tanda-tanda bahwa matahari akan menembus pekatnya mendung ini. Akhirnya saya putuskan harus berangkat jam 10.00 baik cuaca hujan ataupun terang, karena kalau tidak segera berangkat maka akan terlalu siang sampai di Malang. Memang sih resepsinya malam jam 19.00 tapi saya tidak mau ambil resiko dengan datang mepet waktu.

Pukul 09.45 tidak ada tanda-tanda hujan berhenti, well saya segera keluarkan jas Hujan……Arif saya bantu mengenakan celana dan baju jas hujannya yang berwarna oranye mirip jack mania, kemudian saya sendiri mengenakan jas hujan kuning dekil saya, ransel eiger saya untungnya memiliki rain cover sendiri sama seperti side bag saya jadi tidak ada masalah untuk menerobos hujan ini.

Ternyata hujan ini memang merata hampir diseluruh Jawa bagian selatan, soalnya setelah pulang turing saya dapet laporan dari Alin (anak saya) yang pada hari yang sama sedang camping di Ujung Genteng dengan teman2nya, ternyata mereka juga mengalami hujan lebat pada hari itu sejak malam harinya malah. Benar-benar fenomena alam yang aneh.

Jam sepuluh tepat saya keluar dari halaman Warung Gunung Wonorejo, menerobos hujan yang masih turun, motor saya arahkan ke kota Lumajang, kemudian sebelum memasuki kota ada simpangan ke kanan mengarah ke Tempeh dan Senduro.

Di Senduro sendiri ada bangunan pura yang cukup besar yg sering kali digunakan upacara umat hindu jawa timur. Suasana puranya yang besar dan dibangun dengan desain mirip pura di Bali, sehingga benar2 menghadirkan suasana Bali di Jawa timur. Selain itu dari jalan yg ke Senduro ini ada jalan juga yang menuju Ranu Pane, dari sana konon bisa mendaki ke Gunung Semeru……Sayangnya saya tidak berkunjung ke kedua tempat itu kali ini, mungkin next turing lah…..ke Gunung Semeru….hehehe

Saya mengambil jalan yang mengarah ke Tempeh. Tidak seperti hari-hari sebelumnya, saya merasakan ada yang aneh pada Mat Item scorpioku, tiap kali dari gigi 4 pindah ke gigi 5, begitu lepas kopling ada gelaja sedikit tersendat….saya tidak tau apakah aliran bensin yg tertahan atau karena apa. Selain itu pada posisi gigi 5 dan RPM 5000, jika gas saya buka agak cepat timbul suara ngelitik (knocking?), saya juga tidak tahu pasti apakah ini karena bahan bakar yang jelek atau setelan klep yang berubah.

Saya terpaksa mengubah gaya pengoperasian Mat Item, menyesuaikan dengan kondisi yang terjadi, sambil berharap semua gejala tersebut berasal dari bahan bakar yang jelek, bukan dari setelan yang berubah. Terus terang kondisi mat item yang seperti ini membuat saya was-was takut terjadi masalah pada mesin mat item.

Perasaan was-was ini makin bertambah-tambah manakala memasuki wilayah perbukitan, hujan saat itu masih turun tidak terlalu lebat tapi cukup deras juga, suasana agak remang-remang karena mendung yang tebal dan rimbunan pepohonan mungkin lebih tepatnya hutan kali ya, jalanan berliku mengikuti kontur pinggang bukit yang kita lalui, disebelah kiri jurang2 dalam menganga (jurangnya dalem banget sampai2 pohon yg tingginya mungkin 20 – 25 m cuma kelihatan pucuk2nya saja, itupun masih disebelah bawah badan jalan), sedangkan disebelah kanan adalah dinding bukit cukup terjal dengan resiko rawan longsor. Aspal jalannya sih cukup baik tidak mulus sekali tapi yang jelas tidak berlubang-lubang, lebar jalan juga tidak lebar-lebar sekali.

Walaupun ini jalan utama namun frekuensi kendaraan yang melintasinya tidak terlalu tinggi, boleh dibilang sepi dan jauh dari pemukiman (siapa lagi yg mau bermukim dihutan seperti ini hehehe), makanya perasaan was-was muncul, takut ada masalah dijalanan tsb dan sulit mencari pertolongan.

Perasaan mencekam muncul manakala tiba-tiba turun kabut – aseli kabut, gila ini sudah hampir jam 11 siang dan ada kabut muncul didaerah ini,…..bener2 fenomena yang ganjil. Saya saat itu disergap rasa kuatir dan rasa sendirian yang hebat, apalagi arif yg walaupun saat itu hujan dia tertidur kecapekan (terasa dari tubuhnya yang gandoli punggung saya, dan kepalanya yg tergolek di bahu saya)…..mana mat item juga dalam kondisi tidak fit……bener-bener was-was; kadang kalau lagi gini nyesel juga ber solo turing…..hehehe.

Akhirnya untuk memperkuat mental kembali, saya berdzikir sepanjang rute ini, bener-bener tulus berdzikir dan berdoa berserah diri kepada Yang Maha Kuasa. Alhamdulillah sepertinya Allah mendengar do’a saya, walaupun tidak ada perubahan dalam kondisi mat item, tapi mat item tetep berjalan menembus hujan dan kelok-kelok perbukitan ini, sampai akhirnya kami tiba di Dampit, wah senengnya ketemu kota yang cukup ramai lagi.

Dampit rupanya kota yang cukup hidup terbukti dari banyaknya angkutan umum Malang – Dampit. Dengan banyaknya angkutan umum ini lalulintas tidak lagi sepi seperti ketika melewati perbukitan tadi, walaupun jalanan masih berkelok-kelok juga, namun jarak antar kampung kini semakin rapat. Jadi walaupun masih hujan juga saya tidak merasa was-was lagi.

Makin mendekati malang suasana lalu lintas semakin padat, Turen sebuah kota kecil lagi kami lewati, kami semakin mendekati tujuan kami yaitu Malang, walaupun masih mendung hujan sekarang tinggal gerimisnya saja, kelihatannya mau berhenti hujannya.

Dalam cuaca mendung – sudah tidak gerimis lagi, kami masuki kota Malang dari arah selatan, saat itu jam menunjukan pukul 13.15. Saya menyusuri jalan raya yang menuju pusat kota. Dari info yg saya peroleh di internet hotel Margo Suko, tempat resepsi pernikahan diadakan terletak di jalan KH Ahmad Dahlan, biasanya dikota besar di jawa kalo nama jalan pake nama pahlawan maka biasanya terletak ditengah kota dan biasanya ngumpul dengan pahlawan-pahlawan lainnya.

Maka sesuai kebiasaan tsb saya menuju pusat kota, saya lihat jalan yg saya susuri adalah Jl Gatot Subroto wah jangan2 deket2 sini nih jalan yg saya cari. Eh….ternyata benar salah satu ujung jalan yg bermuara ke jl Gator Subroto adalah jl Ahmad Dahlan ini, hanya saja dari Gatot Subroto jalan tsb verbodden alias tidak boleh masuk. Jadi saya musti cari jalan masuk dari ujung yg satunya lagi……setelah berputar balik dan juga dituntun sms dari sepupuku akhirnya saya sampai di halaman parkir Hotel Margo Suko pukul 13.30.

Dik Tjuk (Imam Tjuk) sepupuku yang punya hajat menikahkan putrinya, menyambut kedatangan saya, dia baru yakin kalo saya ke Malang naik motor, tadinya dipikirnya hanya guyon saja ketika diberi tahu saya ke Malangnya naik motor. Masih mengenakan jas hujan beberapa Saudara datang menghampiri kami di halaman hotel, Mas Belo (yg punya Warung Gunung Wonorejo) dan Mas Oth (rumahnya tempat saya nginep waktu solo turing ke Surabaya) juga menjumpai saya. Setelah bertegur sapa dan bersalaman dan mereka juga punya acara lain, akhirnya saya bisa memarkir mat item dan membongkar muatan, untuk selanjutnya menuju kamar saya. Trip meter di mat item menunjukan angka 1.428 km.

Hotel Margo Suko tidak begitu besar, tapi saya lihat penataannya cukup asri dan apik. Kamar yang saya tempati berukuran standar tidak terlalu besar, dengan dua tempat tidur yg tertata rapi dan perlengkapan kamar yg fungsional, AC, TV dan yang terpenting buat saya ada kamar mandi dengan air panas – paling nikmat kalo badan capek itu adalah mandi dengan air hangat……(kalo buat arif yg penting ada TV). Setiba dikamar saya rasakan badan saya sangat lelah dan juga kepala saya terasa berat (gejala migrain saya mau muncul nih), jadi setelah mandi dengan air panas dan santap siang, segera saja saya minum obat sakit kepala dan kemudian pergi tidur, saat itu jam 14.30, resepsi nanti jam 19.00, jadi masih ada waktu untuk istirahat……

to be continued

Solo Touring ke Kawah Ijen #7

blawan

Setelah nafas kami terkumpul kembali kami segera melanjutkan tahap akhir pendakian. Kini pemandangannya berubah kalau tadi disekelilingi kami adalah pepohonan dan semak belukar yang rapat, kini pepohonan tersebut tidak banyak lagi, gerumbul-gerumbul perdu lebih banyak mendominasi. Efeknya ruang jadi lebih terbuka sehingga kami jadi bisa memandang sekeliling dari ketinggian, indah sekali, terasa sekali bahwa kami berada disuatu tempat yang cukup tinggi.

Karena kami tahu tinggal satu kilometer lagi sebelum puncak Ijen, ada semangat atau tenaga baru yang mendorong kami untuk mempercepat langkah agar sampai di tujuan. Pukul 07.30 (artinya kami butuh 2 jam untuk sampai kepuncak) kami akhirnya sampai di bibir kawah Ijen………Pemandangannya luar biasa, menakjubkan. Jujur saja ada rasa puas senang dan takjub jadi satu ketika kami sampai dikawah Ijen…..rasanya ingin berteriak senang Akhirnya biker dan boncenger ini sampai juga ke puncak Ijen setelah menempuh jarak lebih dari 1.000km dari jakarta. (mungkin bagi pendaki gunung sejati, rute pendakian kawah ijen ini cuma dianggap jalan-jalan sore aja, tapi bagi saya yang orang biasa-biasa saja tentunya ini kepuasan tersendiri)

Dihadapan kami terdapat cekungan luas kawah Ijen dikelilingi dinding kawah, didalam cekungan kawah tersebut terdapat danau kawah Ijen dengan airnya yang berwarna hijau tosca. Jauh dibawah ditepian danau kawah Ijen ada bagian berbatu-batu yang berwarna kuning dan mengeluarkan asap, itulah sumber belerang yang ditambang oleh penambang-penambang.

Dari atas bibir kawah penambang-penambang yang berada disumber belerang tersebut terlihat kecil…..sayangnya saya tidak membawa teropong untuk melihat dengan jelas bagaimana mereka menambang belerang. Sebetulnya ada jalan setapak menuruni dinding kawah ijen untuk mencapai tambang belerang tersebut, namun karena ada larangan selain penambang dilarang turun ke kawah, maka saya tidak turun kesana.

Pemandangan yang sangat indah ini segera saja saya abadikan dengan kamera digitalku. Beruntung saya membawa tripod sehingga saya bisa mengabadikan diri sendiri dan arif tanpa harus minta bantuan orang lain untuk mengambil gambar kami. Bordiran logo MiLYS yang terdapat dalam body protector saya bentangkan untuk saya abadikan, sebagai bukti bahwa member MiLYS sudah sampai di kawah Ijen, demikian juga dengan lambang Samudera Indonesia Bikers saya kibarkan.

Setengah jam lebih kami habiskan waktu untuk menikmati keindahan alam yang luar biasa ini, matahari yang bersinar cerah membantu kami untuk bisa melihat dengan jelas dinding-dinding kawah ijen, maupun pemandangan disekeliling kawah ijen yang mempunyai ketinggian 2.386m dpl (diatas permukaan laut) ini. Rasanya keindahan kawah ijen tidak kalah dengan keindahan Gunung Bromo, hanya saja bromo memiliki lautan pasir yg menakjubkan dan sarana wisatanya sudah lebih terkelola dengan baik.

Jam 08. lebih sedikit saya putuskan untuk turun gunung. Jangan dikira turun gunung lebih enak dari pada mendakinya lho, ternyata sama beratnya, saya malah sempat beberapa kali terpeleset. Betis saya terasa kencang menahan berat badan saya, lutut saya juga gemetar kelelahan. Sama seperti berangkatnya ternyata perjalanan turun ini saya juga butuh berhenti beberapa jenak untuk mengatur nafas, dan memberikan kesempatan lutut dan betis kembali normal.

Namun kali ini karena menurun dan didorong gaya gravitasi kali ya hehehe…..ternyata perjalanan turun lebih cepat dibandingkan pada saat naik. Rute turun kami tempuh dalam 1.5 jam, sehingga jam 09.30 kami sudah sampai di Pondokan…..Tentu saja dengan kaos yang basah dengan keringat dan nafas tersengal serta kaki-kaki yang kelelahan.

Karena sudah jam 09.30 dan kami baru turun dari Kawah Ijen, maka saya membatalkan opsi ke Banyuwangi dan Taman Nasional Alas Purwo di Blambangan, – waktunya tidak memungkinkan. Dari Paltuding ini memang ada jalan yang menuju Banyuwangi, dengan jarak 33km, sementara TN Alas Purwo masih 60 km lagi dari Banyuwangi ke arah tenggara. Sebagai gantinya kami mengexplore lebih dalam daerah seputar Ijen ini, yaitu ke daerah Blawan dimana disini ada objek wisata, pemandian air panas, air terjun dan goa kapur serta pemandian damar wulan.

Saya sih pinginnya segera berangkat menuju Blawan, tapi ternyata lama juga waktu yang kami butuhkan untuk menormalkan kembali tubuh setelah kecapekan mendaki tadi. Akhirnya baru jam 11.00 kami bisa meninggalkan paltuding menuju Blawan.

Tidak terlalu sulit untuk menuju ke arah Blawan, karena kemarin waktu kami naik ke Paltuding kami melewati papan penunjuk jalan ke Blawan. Yang agak sulit adalah kondisi jalannya setelah melewati pemukiman pekerja perkebunan, jalannya ternyata terdiri dari batu-batu kali, jadi ya pating gronjalan gitu deh…

Jam 11.30 an kami tiba di pemandian air panas…..hmm jangan dibayangkan pemandian air panas ini seperti di Ciater atau di Cimanggu – Bandung Selatan sana ya. Pemandian air panas ini sederhana banget cuma terdiri dari 2 kolam untuk berendam. Memang sih ada bangunan kamar2 mandi untuk yang ingin mandi air panas diruang tertutup, tapi semuanya sudah tidak berfungsi.

Ketika kami datang hanya ada satu orang pengunjung yg datang, itupun dia baru selesai berendam, jadi ya sepi banget. Setelah membayar tiket masuk sebesar Rp 2000.- per orang, Arif segera saja buka baju dan menceburkan diri ke kolam air panas tersebut…..byurr wah seneng banget dia kalo udah main air kayak gini. Tidak lama kemudian saya pun menyusul arif untuk berendam dan mandi di kolam air panas ini……soalnya sejak di Paltuding saya gak berani mandi…..airnya dingin banget seperti air es……hehehehe

Ternyata enak juga berendam di air panas setelah tubuh kecapekan mendaki tadi, makanya mandinya jadi kelamaan. Akibatnya kami baru meninggalkan Blawan jam 12.30 setelah sebelumnya melihat air terjun (lokasinya berdekatan dengan pemandian ini), tapi kami gak mampir di gua kapurnya padahal satu lokasi dengan air terjun tapi agak memutar sedikit, soalnya telapak kaki saya nyeri setelah mendaki tadi….gak tau kenapa, jalan saya agak terpincang-pincang.

Kami lanjutkan perjalanan menuju sempol, dan disini kami sempatkan untuk santap siang, baru jam 13.30 kami lanjutkan perjalanan menuju Bondowoso dengan sasaran akhir adalah Lumajang. Rute lengkapnya adalah Sempol-Bondowoso-Jember-Lumajang dengan jarak sekitar 168 km.

Terus terang pendakian pagi tadi sangat menguras tenaga kami, selain kaki yang masih terasa pegel dan telapak yang nyeri kerasa banget stamina drop. Saat itu satu-satunya keinginan adalah segera tiba di Lumajang untuk istirahat. Makanya motor saya jalankan cukup cepat, apalagi jalanannya di dominasi turunan terus. Sempol – Bondowoso kami tempuh kurang dari satu setengah jam; kemudian Bondowoso-Jember juga kurang dari satu jam. Hal ini disebabkan juga faktor jalanannya yang mendukung jalanannya mulus – besar dan menurun, kecepatan bisa 80 – 90 Kpj.

Kami berhenti isi bensin dulu di Jember, selanjutnya mat item kami geber lagi menuju Lumajang. Kondis jalan Jember – Lumajang sangat baik, mulus dan lebar, serta relatif datar. Mat item saya ajak lari sampai 100-110 kpj di trek ini, karena memang treknya benar2 memungkinkan untuk digeber tanpa takut ada lubang menghadang. Harapan saya untuk bisa masuk Lumajang sebelum pukul 17.00 akhirnya tercapai, ketika kami berhasil tiba dirumah Sepupuku pada jam 16.55. Rasanya inilah etappe tercepat yang bisa saya selesaikan, karena hanya butuh 3.5 jam saja untuk jarak 168km an.

Sampai di Warung Gunung Wonorejo (WGW) tempat sepupuku ini(sepupuku – Mas Belo ini mengusahakan resto dengan nama Warung Gunung Wonorejo letaknya 100m dari terminal bis Lumajang arah ke Probolinggo), ternyata tuan rumah sudah berangkat ke Malang siang tadi. Tapi tuan rumah sudah pesen kepada yang jaga rumah kalo kami mau datang dan agar diterima dengan baik. Jadi saya gak perlu kuatir bakalan terlantar hehehehe….

Motor segera saya masukan halaman samping WGW, Resto WGW ini menempati tanah yg cukup luas, kebetulan tuan rumah ini hobby tanaman dan memilhara hewan….dibagian belakang ada dibuat semacam pendopo untuk lesehan, halaman belakang ini teduh dan hijau dengan berbagai tanaman, sedangkan hewan piaraannya cukup banyak ada angsa, burung beo, ayam kate dan juga rusa.

Anak-anak tuan rumah semuanya kuliah di surabaya dan ada juga yg sudah bekerja di jakarta dan jogya, sehingga banyak kamar kosong dirumah ini saat saya datang menginap. Saya segera bongkar side bag dari mat item untuk dibawa ke kamar tempat saya menginap, sambil membongkat saya lihat trip meter mat item scorpioku ternyata menunjukan angka 1.301 km.

Malam itu setelah membuat beberapa catatan saya segera pergi tidur, walaupun badan masih terasa letih tapi ada rasa puas bahwa satu misi telah selesai, tinggal ada satu misi lagi yang harus diselesaikan besok, yaitu menghadiri resepsi pernikahan keponakan saya di Malang……….

to be continued…