Guru Menyetir Saya

Jauh sebelum saya menjadi biker yang gemar turing jarak jauh saya lebih sering travelling dengan menggunakan mobil.

Alhamdulillah tidak terasa sudah banyak juga tempat yang saya kunjungi bersama keluarga dengan bermobil.

Ketika saya masih dinas di Medan (1995 – 1997) saya berkesempatan keliling Aceh, berangkat melalui pantai timur(Medan – Lhokseumawe – Banda Aceh) dan pulangnya lewat pantai barat (Banda Aceh – Meulaboh – Tapak Tuan – Kaban Jahe – Medan), semuanya saya menyetir sendiri.

Beberapa tempat lain yang saya pernah kunjungi dengan bermobil bersama keluarga dan menyetir sendiri antara lain adalah; Bali, Palembang, Bromo, Yogya dan lain-lain.

Bapak sayalah yang mengajari saya mengemudikan mobil dan menularkan kegemaran travelling keluarga dengan mobil

Dimata saya Beliau adalah pengemudi yang handal, tahan menyetir jarak jauh, sopan dan santun di jalan dan mengutamakan keselamatan.

Bapak pernah mengajak kami ke Surabaya, Jember, keliling Madura, ke Yogya …..semuanya beliau yang menyetir sendiri – saat itu anak-anaknya belum ada yg bisa menyetir. Barulah ketika kami pergi ke Bali (sekitar 1982) Bapak bisa agak berisitirahat, karena saat itu saya dan mas Anang sudah bisa menyetir mobil.

Bapak sangat strict soal aturan usia untuk mengemudi mobil, jadi kalo belum 17 th. Sudah pasti tidak akan diperbolehkan menyetir mobil. Sebaliknya ketika usia saya 16 tahun Beliau menyuruh saya untuk membuat SIM C untuk mengendari motor, saat itu batas usia untuk memperoleh SIM C adalah 16 th (nggak tau deh kalo aturan sekarang berapa batas usianya).

Bapak menyuruh saya untuk membuat surat keterangan dari kelurahan bahwa usia saya 16 tahun, Beliau juga mengantar saya ke Polda (dulu KOMDAK) untuk mendaftar ujian SIM, ketika petugas pendaftar menolak berkas pendaftaran saya – dengan alasan saya belum mempunyai KTP; Bapak maju mempertanyakan mana aturan yang mensyaratkan harus punya KTP baru boleh bikin SIM C wong syaratnya berusia 16 tahun – si petugas gak bisa berkutik akhirnya saya diperbolehkan ikut ujian teori dan besoknya ikut ujian praktek, dapet deh SIM C untuk naik motor.

Entah Bapak belajar darimana semua yang diajarkan kepada saya merupakan teknik mengemudi yang baik dan aman. Bapak mengajarkan teknik menyusul yang aman, tidak memaksakan diri dalam menyusul, tidak menyusul di jembatan, tidak menyusul di tikungan. Membunyikan klakson di tikungan-tikungan tajam untuk memberi tahu kendaraan dari arah berlawanan akan keberadaan kita.

Beliau juga mengajarkan cara mengemudikan yang aman di malam hari, mengajari tentang isyarat2 lampu, juga mengajarkan etika berkendara seperti tidak berjalan lambat di jalur kanan, memprioritaskan kendaraan yang sedang menanjak dan masih banyak lagi.

Semua etika2 tsb saat ini seringkali tidak diindahkan lagi oleh banyak pengemudi; seperti menjalankan mobil berlambat-lambat di jalur kanan, jika diklakson malah marah2, atau tidak memberi prioritas kendaraan yang sedang menanjak – yang ada siapa yang lebih berani dia yg menguasai jalan. Atau saat hujan menyalakan lampu Hazard (kedua sein nyala berkedip-kedip) padahal mobil yg bersangkutan tidak sedang berhenti – mereka tidak mengerti lampu hazard hanya digunakan untuk mobil yang sedang berhenti/mogok.

Namun demikian Bapak saya jugalah seorang manusia biasa, suatu saat juga bisa meledak emosinya – namun karena emosinya yang meledak inilah saya jadi bisa berkesempatan melihat salah satu aksi ketrampilan Beliau mengemudikan mobil.

Ceritanya saat itu sedang pemilu di masa orba dulu, waktu itu cuma ada tiga partai politik peserta pemilu, Hari itu sedang kampanye dari salah satu parpol; mereka konvoi menggunakan belasan (mungkin puluhan malah) truk terbuka dan bis menuju lokasi kampanye di Senayan.

Saat itu kami melaju dijalan Thamrin menuju rumah di Kebayoran, melihat ada konvoi tersebut, Bapak mengambil jalur kiri membiarkan konvoi kampanye tersebut lewat dengan lancar dijalur tengah – namun tiba-tiba peserta kampanye dari salah satu truk terbelakang melempari mobil kami dengan batu.

Tidak terima dengan perlakuan tersebut Bapak kemudian ngebut menyalip dan memotong satu persatu kendaraan yang sedang konvoi secara zig zag diantara kendaraan peserta konvoi..….. mobil Peugeot 404 th 63 kami pun meliuk-liuk mengikuti putaran kemudi Bapak…kereeeen bo. (jangan-jangan Bapak saya jago drifting juga kali ya….hehehe)

Terima kasih Bapak atas semua didikan yang telah diberikan, saya tidak bisa membalas budi baik Bapak…..hanya doa yang dapat saya panjatkan kepada Allah untuk Bapak.

Nah siapa guru mengemudi anda…?

***) ditulis untuk mengenang Almarhum Bapakku : Drs Imam Saroso

Yang Tercepat

“Yah, kata tante Susan ayah nyetirnya kenceng juga ya” Demikian kata Alin anakku meneruskan komentar dari adik iparku Susan – saat itu kami sedang berkonvoi tiga mobil dalam perjalanan menuju Garut – Jawa Barat.

Mendengar komentar itu saya jadi berpikir, apa bener saya nyetirnya kenceng? menurut saya sendiri saya termasuk slow driver.

Dari empat bersaudara yang lelaki dalam keluarga saya, yaitu Mas Anang (alm), Mas Kokok, Saya sendiri dan si bungsu Teguh maka yang tercepat baik dalam mengendarai mobil maupun menunggangi motor adalah almarhum Mas Anang.

Mas Anang nggak pernah pelan kalo bawa mobil, gaya mengemudinya kenceng dan berani tapi tidak kasar atau ugal2an – sebenernya saya seneng dengan gaya mengemudinya tapi tidak demikian dengan Bapak, dia tidak terlalu cocok dengan gaya mengemudi Mas Anang.

Makanya kalo pergi liburan keluarga bersama Bapak, beliau lebih suka saya yang mengemudikan mobil, mungkin karena saya belajar mobil langsung dari didikan Bapak, maka sebagian gaya mengemudi Bapak menurun ke saya. Mas Anang dan Mas Kokok seingat saya belajar mengemudi sendiri, ini karena mas Anang lama tinggal di Yogya (kuliah) sedangkan mas Kokok lama dinas di Ambon.

Teguh sendiri sebenarnya pengemudi yang baik dan setahu saya juga diajari menyetir oleh Bapak, sayang kecelakaan hebat di Pantura tampaknya meninggalkan trauma yang dalam, sehingga kelihatannya sekarang jadi kurang pede untuk menyetir jarak jauh.

Mas Anang jugalah yang mengajari saya pertama kali bawa motor di jalanan luar kota, tepatnya dari Yogya ke Kaliurang. Saat itu saya masih kelas 3 smp saya dikasih kepercayaan untuk mengendarai Yamaha DT 100 (motor trail) sementara dia mbonceng sambil memberi instruksi bagaimana cara mengambil tikungan, memainkan perpindahan gigi di jalanan yang menikung dan menanjak. Bagaimana menggunakan engine brake di jalanan menurun, bagaimana menyusul yang baik dan lain sebagainya.

Rasanya itulah pelajaran turing motor saya yang pertama kali.

Sayang penyakit jantung yang diderita mas Anang menyebabkan mas Anang harus lebih dahulu meninggalkan kami untuk menghadap Allah SWT pada usia yang relative masih muda (40th). Terima kasih mas Anang atas segala pelajaran riding skill nya.

Nah bagaimana dengan keluarga anda? Siapakah yang tercepat dalam keluarga anda……..